Assalamu alaikum...
kali ini ria akan memaparkan tulisan mengenai suatu suku yang kurang menjadi perhatian para peneliti budaya.
yupppzzz ini mengenai sebuah suku primitiv di Kabupaten Luwu Timur yang kurang terekspos ke masyarakat luar, hal ini sesuai dengan keingan tetuah adat suku tersebut.
disimak yah,,, menarik lohh
kali ini ria akan memaparkan tulisan mengenai suatu suku yang kurang menjadi perhatian para peneliti budaya.
yupppzzz ini mengenai sebuah suku primitiv di Kabupaten Luwu Timur yang kurang terekspos ke masyarakat luar, hal ini sesuai dengan keingan tetuah adat suku tersebut.
disimak yah,,, menarik lohh
A.
Sejarah
singkat daerah Cerekang
Kata Cerekang berasal
dari kata cerre yang berarti di
tuangkan. Dimana ketika diturunkannya Latonge’ Langi’ yang bergelar Batara Guru
ke ponseweni untuk menjadi manusia pertama dan sekaligus Raja pertama alekawa yaitu Luwu dengan pusat kerajaan
di ware’ dengan syarat bahwa ia harus
mengambil sebagai permaisuri puteri tertua “benua bawah”(Toddang Toja) La
Matimmang Guru ri Selleng. Turunan merekalah yang akan menjadi penguasa benua
tengah (alekawa; Luwu). Setelah Latonge’ Langi’ diturunkan ke Alekawa dalam bambu
gading yang besar dan tiba di Ussu
diantar inang pengasuh dan selirnya beserta pengikutnya, maka mulailah alekawa
ditata sehingga terciptalah gunung padang, sungai dan hutan. Proses penurunan
ini bagaikan air yang di tuangkan ke bumi sehingga terciptalah tanaman, hewan
gunung, padang sungai, dan danau.
Legenda orang Cerekang dan Ussu selalu
bermula dari Tomanurung dan
Sawerigading, sebagai cikal bakal manusia di dunia sekarang. Berkembang sebuah
pemahaman di Cerekang, bahwa semua umat manusia
dari berbagai ras dipercaya berasal dari Sawerigading. Mereka yang hidup
sekarang adalah anak-cucu Sawerigading yang berkewajiban menjaga
kelestariannya, baik dalam siklus hidup maupun tempat-tempat yang diyakini asal
mula sumber pangan dan kebutuhan masyarakat lainnya (padi,air, alat dan sarana
transportasi) (Hakim dan Irfan dalam Fadillah dan Sumantri, 2006: 68).
Dalam kaitanya dengan legenda To Manurung dan Sawerigading, beberapa
toponim telah terekam dalam akal pikiran penduduk sekarang sebagai tempat keramat yang dapat diterjemahkan sebagai
“tanah larangan”, dimana David Bulbeck dan Ian Caldwell cenderung menamakannya sebagai pusat
tersembunyi, sebuah istilah yang dikonfrontasi dengan pusat nyata, yakni
konsentrasi pemukiman “anak cucu” Sawerigading dimana orang boleh bermukim dan
mengolah tanah di tempat itu. Tempat-tempat keramat yang berkaitan dengan tokoh
yang legendaris terus hidup dan mengikat
kuat kehidupan masyrakat setempat dan
juga dikenal dalam tradisi masyarakat Bugis lain di daerah Luwu hingga memasuki
fase kontemporer .
Dalam tradisi lisan tentang Cerekang dan Ussu sebagai pusat besi
bagi industri keris Jawa pada era Majapahit pada sekitar Abad XIV M. dalam
tradisi jawa dikenal keras “pamor Luwu”. Keris yang dimaksud ialah senjata yang
memiki besi pamor berasal dari Luwu,
sebagai keris terbaik. Sumber besi luwu yang diekspor melalui Ussu
dan Cerekang sangat mungkin berasal dari
perbukitan sebelah utara, di tepi Danau Matano yang banyak mengandung
nikel.
B.
Pelapisan
Sosial dan kepemimpinan
Dikalangan
Komunitas Adat Cerekang yang menyangkut sistem kekerabatan, mereka menganut
sistem kekerabatan patrineal. Hal ini di sebabkan karena laki-lakilah yang
berusaha untuk mencari penghidupan seperti bekerja di kebun, mencari ikan serta
mencari bahan baku pembuatan atap (daun nipah). Sedangkan perempuan melakukan
proses lanjutan dari pihak laki-laki, seperti mengumpulkan tumbuh-tumbuhan,
memasak dan menjaga anak.
Struktur sosial dalam masyarakat Cerekang pada umumnya
bersumber dari konsep To Manurung dan rakyat kebanyakan. Konsep ini menjadi
dasar terselenggaranya sistem interaksi antar individu dalam kehidupan
sehari-hari dan juga menjadi konsep terbentuknya suatu kelompok masyarakat
dengan batas-batas wilayah yang jelas. Dalam kehidupan masyarakat, hal ini
sangat penting untuk mencari latar belakang pandangan hidup dan sifat yang
menjadi dasar setiap individu dalam masyarakat.
Dalam
kompleks pemakaman masyarakat Cerekang terdapat pembagian lokasi pemakaman yang
oleh masyarakat setempat menyebutnya Kasosoe
terdapat pembagian lokasi wilayah makam. Pembagian ini terdiri dari 3
lokasi yang berbeda berdasarkan keturunan atau status dalam masyarakat yaitu :
a) Makam
puak yaitu kuburan atau makam yang
khusus di peruntukkan bagi semua puak yang
telah meninggal.
b) Makam
wija puak atau keturunan puak yaitu
makam yang di peruntukkan bagi semua keluarga atau yang mempunyai keturunan puak .
c) Makam
orang biasa atau masyarakat biasa, yang diperuntukkan bagi masyarakat Cerekang
pada umumnya atau masyarakat luar yang meninggal di wilayah Cerekang.
Adapun
keunikan di pekuburan atau pemakaman ini
yaitu nisan yang harus terbuat dari kayu yang tidak bertuliskan nama tanggal
dan tahun orang yang meninggal. Apabila nisan tersebut lapuk (hancur) maka
tidak diperkenankan untuk diganti lagi atau dibiarkan saja. Ketika ada salah
satu masyakarat Cerekang meninggal, warga yang hendak menghantar mayat perlu
mematuhi beberapa ketentuan berupa : harus memakai sarung, naik perahu (pincara) , tidak memakai alas kaki dan
tutup kepala. Dan merupakan daerah yang bisa dikatakan hutan belantara yang
masih asli karena semenjak dahulu terjaga kelestariannya. Yang oleh masyarakat
sengaja untuk tidak diganggu yang dijaga secara turun temurun.
Puak atau ketua
adat yaitu pemegang kekuasaan tertinggi dalam masyarakat adat, Puak hanya
menangani urusan adat dan urusan spiritual (akhirat), Puak setara dengan
gelar datuk. Puak’ ini terdiri dari puak laki-laki dan puak perempuan
(bukan pasangan suami istri), dipilih/diangkat dengan menunggu petuah atau petunjuk lewat mimpi dari Sembilan orang
yang disegani di dalam masyarakat Cerekang. Dalam pemilihan Puak ini masyarakatnya masih memegang
adat istiadat setempat, hal ini ditunjukkan dalam hal pemilihan Puak tadi, dimana dilain pihak masukan
dari Sembilan orang ini juga adalah sebuah wangsit yang dimana wangsit yang
diterima kesembilan orang ini hampir sama artinya menunjuk pada seseorang yang
akan diangkat menjadi seorang pemangku adat, jadi pemilihan Puak ini tidak dilakukan dengan
pemungutan suara dan puak tidak pula diturunkan secara turun temurun tapi semua
masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pua. Walaupun demikian Puak yang diangkat dengan cara demikian
sangat disegani dan dihormati. Ketika ada masyarakat atau tamu yang ingin
bertemu dengan puak, harus melalui atau membuat jadwal dengan seorang perantara
yang dikenal dengan istilah langkai.
Puak ini tidak pernah turun dari rumahnya, kecuali dalam beberapa hal
atau dalam urusan adat. Puak yang
terpilih lewat amanah yang diterima melalui wangsit atau wahyu umumnya memiliki
atau diberi kecerdasan dan wibawah walaupun sebelumnya karakter ataupun sifat
ini tidak dimiliki (M. Jafar,19 Juli 2010). Lanjut menurut Jafar :
Narekko engkai pole namu makkeda deppi
Wedding mancaji racun ri alede
Makkotoparro narekko deppi pole namu
makkeda engkani
Wedding toi maccaji racun rialede.
Artinya:
Bila datang tanda-tanda pada diri kita, lalu mengatakan belum,
Bisa menjadi racun pada diri kita sendiri.
Sebaliknya, bila belum datang tanda-tanda pada diri kita lalu
mengatakan sudah datang, juga menjadi racun pada diri sendiri
Ungkapan diatas bermakna ketika seseorang mendapatkan tanda-tanda
pada dirinya berupa mimpi atau wangsit dan ia menyangkali atau tidak mau
mengakuinya maka hal tersebut akan menjadi racun atau akan berakibat jelek pada
diri pribadinya. Begitu pula ketika belum ada pada dirinya tanda-tanda, baik
berupa perubahan kelakuan atau wangsit/ mimpi lalu kemudian ia mengatakan telah
mendapatkannya, maka hal tersebut bisa menjadi racun pada dirinya.
Secara
adat, Puak mengikat semua anggota
masyarakat untuk tetap memenuhi keputusan pejabat adatnya. Intitusi Puak sangat kuat karena secara formal
dibentuk melalui prinsip demokrasi, tetapi sekaligus mistik. Artinya, semua
perangkat puak terpilih setelah melalui beberapa tokoh dusun yang dianggap
sebagai hasil hubungannya dengan kekuatan supranatural (dewata). Puak memegang kekuasaan tertinggi yang dalam menjalankan
pemerintahannya dibantu beberapa pejabat bawahannya, terutama seorang ‘perdana
menteri’ yang bergelar Daeng Makilo, sebuah nama yang diambil dari seorang
tokoh dalam epik lagaligo. Dibawah Daeng Makilo terdapat para pejabat yang
lebih spesifik tugasnya, antar lain panggulu. Puak sendiri sama kedudukannya seperti Ammatoa dalam Komunitas adat
Kajang yang ada di Bulukumba dan Arung
beserta struktur ade’ eppa dalam
masyarakat Karampuang di Sinjai. Maupun Uwa’
dalam masyarakat Towani Tolotang di Sidrap.
Institusi puak
di Dusun Cerekang ini sangat berpengaruh dalam masyarakat dan yang paling
menonjol karena mereka bisa menjaga kelestarian tempat-tempat keramat yang
dianggap warisan Tomanurung dan Sawerigading. Dipercaya sampai sekarang
di Cerekang bahwa kepatuhan pada puak
akan menjamin keselamatan di dunia dan akhirat, serta akan bersatu dengan
Sawerigading jika memegang teguh ajarannya (Rahman 2000:56 dalam Hakim dan
Irfan). Dari sudut pandang kosmik, dapat diinterpretasikan keberadaan puak merupakan pusat mistik yang
berkewajiban menjaga keseimbangan dunia besar (makrokosmos) dengan dunia kecil
(mikrokosmos) sehingga legenda I lagaligo benar-benar hidup dan terus
berkembang dalam alam pikiran dan juga dalam praktek hidup bermasyarakat.
(Fadillah dan Hakim dalam Sumantri,2006:9).
Dalam
berbagai sumber yang telah dijelaskan sebelumnya terutama dalam Kitab I
Lagaligo, kampung Cerekang diyakini sebagai tanah pertama yang disentuh manusia
pertama yang di turunkan dari langit (Boting Langi') yaitu Batara Guru. Sebagai
Putra Mahadewa, Batara Guru mengawali sejarah panjang Manusia Bugis dengan
mengelola alam dan mengatur negara pertama. Cerekang menjadi simbol
ke-pertama-an Bugis. Batara Guru menjadi pemimpin yang menjamin keseimbangan
duniawi dan pengabdian kepada alam dan Sang Penguasa Alam. Batara Guru
membolehkan bercocok tanam tanpa merusak alam, membolehkan makan daging
binatang dan ikan tanpa membuat hewan binasa dan tanpa membuat air sungai
keruh. Kedamaian manusia terlindungi dari kekacauan dan saling melecehkan
sehingga melahirkan generasi andalan yang bisa menjadi panutan bagi manusia
berikutnya. Organisasi masyarakat di atur sedemikian rupa sehingga fungsi
fungsi kemanusiaan tertata baik. Semua kelas manusia memiliki pemimpin yang
terpercaya. Petani memiliki penghulu Pertanian, Nelayan memiliki pemimpin dalam
usaha perikanan. Penjaga Moralitas masyarakat di serahkan kepada Puak. Puak ini
menjadi sumber informasi dari Penguasa Langit dan satu satunya lembaga yang
menghubungkan bumi (dunia tengah) dengan dunia langit. Kepatuhan dan kepatutan
manusia terhadap aturan langit sangat di jaga melalui perantara Puak. Puak menerima kabar dan kehendak
Sang Penguasa Kehidupan dan menterjemahkan berupa aturan yang mengikat tentang
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Puak' menjadi gerbang permintaan dan permohonan hamba kepada
Tuhannya.
C.
Pola
pemukiman
Anggota masyarakat adat Cerekang membangun
rumah yang berdekatan dengan aliran sungai Cerekang. Apabila dilihat dari segi
kebutuhan masyarakat yang menggantungkan hidupnya terhadap hutan di sekitarnya
maka sewajarnya mereka kemudian membangun rumah dan pemukiman di sepanjang
aliran sungai guna mempermudah akses menuju hutan tempat mereka mencari nafkah.
Tak
jauh berbeda dengan masyarakat Bugis Makassar
Dari segi bentuk rumah, masyarakat Cerekang umumnya masih mematuhi
bentuk rumah panggung antara lain jumlah tiang penyanggah, pembagian ruang,
bentuk dan bahan atap serta persyaratan lainnya. Dalam hal arsitektur rumah
tradisional Cerekang secara umum sejenis, yaitu rumah panggung dengan
atap pelana yang sebagian besar bahan bangunannya dari kayu. Untuk pendirian
rumah, biasanya didahului oleh serangkaian upacara-ritual. Pada tahap
selanjutnya secara berurutan mulailah mendirikan rumah dengan mengerjakan
pemancangan tiang pusat rumah yang disebut ”posi’bola” terlebih dahulu,
menyusul pemasangan tiang tiang yang lain, hingga pekerjaan selesai dikerjakan
secara keseluruhan.
Menurut M. Djapar, Birue tempat ini, di sepanjang tepi timur sungai
Cerekang merupakan daerah kampung lama Cerekang sebelum pindah ke jalan raya
Palopo-Malili setelah Belanda membangun jalan ini pada tahun 1930an, Birue
membatasi laoru, sebuah daerah hutan keramat yang meliputi Ennunge.
Rumah-rumah yang berada di Cerekang
mempergunakan kayu sebagai bahan utama. Rumah-rumah masih banyak mempergunakan
atap nipah. Dan masih berbentuk panggung. Masih kurang yang mempergunakan
bahan-bahan yang modern. Pemukiman masyarakat Cerekang pun sebagian besar berada di sepanjang pinggiran jalan poros
menuju ibukota kabupaten.
D.
Sistem
kepercayaan
Akan
tetapi sistem kepercayaan masyarakat adat Cerekang pada dasarnya merupakan
tradisi – tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat. Berdasarkan
tradisi-tradisi ini ditemukan berbagai perpaduan dengan ajaran Islam. Boleh
jadi ini merupakan sinkritisme antara ajaran islam dengan kepercayaan
masyarakat setempat. Kepercayaan animisme dan dinamisme sangat kental pada
masa-masa pra islam di daerah Cerekang , yang kemudian para penyiar agama islam
berusaha mengislamkan para peladang yang ada dihutan dan menariknya kembali ke
desa, serta mengharamkan bentu-bentuk kegiatan animisme dan dinamisme yang
dianut oleh masyarakat .para penyiar islam membawa budaya baru dan
pemikiran-pemikiran yang lebih maju, serta mengenalkan budaya bersawah ,
mengajarkan membaca dan menulis.
Pada dasarnya, masyarakat adat Cerekang
mempercayai dan menyakini Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah dan mengakui
Nabi Muhammad sebagai utusan Allah,
sebagai yang tertuang dalam ajaran Islam. Tetapi kepercayaan terhadap
tempat-tempat dan benda-benda tertentu dihuni oleh kekuatan gaib , terutama
tempat yang di anggap keramat. Kepercayan tersebut dapat dilihat dari
upacara-upacara yang dilakukan selalu dimediasi dengan benda-benda yang
dikeramatkan dan di tempat yang dihormati,seperti rumah adat, atau rumah
seorang Puak. Ritual yang
dilaksanakan di hutan adat. Kepercayaan lain juga melihat alam ini sebagai
suatu kesatuan yang berkaitan antara satu sama lainnya.
Dari uraian diatas menjelaskan adanya
pengklaiman terhadap sesuatu tempat yang dianggap suci bagi orang-orang
Cerekang yang kemudian di tempat tersebutlah mereka berdoa kepada dewata
seuwaE untuk memohon serta bermunajat
sesuatu dengan permintaan masing-masing individu, baik itu berupa dikuburan
nenek moyangnya, maupun dirumah pemangku adat bagi kepercyaaan.
Adapun beberapa upacara adat yang ada di komunitas adat Cerekang yaitu:
1. Mappasolong/mappasorong
buaja yaitu upacara yang diadakan untuk
menjaga keselamatan masyarakat Cerekang yang dilakukan setiap setahun sekali,
yang biasanya dilaksanakan dengan memotong kerbau.
2. Mappaenre ota
yaitu upacara yang dilakukan untuk melepaskan hasrat manusia( mappalepe sitinja ).
3. Mappacokkong ri Baruga yaitu
upacara adat yang dilaksanakan untuk mengambil air suci yang dipergunakan
ketika kedatuan Luwu atau seorang Datu mengadakan pesta, berupa pelantikan
Datu, pindah rumah atau membangun rumah. ritual
pengambilan air suci yang merupakan salah satu syarat dalam acara masuk istana
bagi Raja Luwu.
4. Mappacekke kampong, dilaksanakan
untuk menghindarkan kampung dari bencana.
E.
Pandangan
Masyarakat Cerekang Terhadap Hutan dan Sungai
Bagi masyarakat adat Cerekang hutan juga merupakan sumber lahan
atau cadangan lahan di masa depan. Sementara itu, Sungai Cerekang merupakan
sumber air rumah tangga untuk keperluan minum, memasak, mencuci dan mandi.
Hutan keramat merupakan tempat ritual adat yang penting bagi masyarakat
Cerekang. Ada dua ritual yang dilaksanakan di hutan keramat yaitu mappaenre
ota dan mappasolongang buaya. Mappaenre ota diadakan jika ada
orang yang ingin mappaleppe satinja (melepas hajat), sementara ritual mappasolongang
buaya diadakan setahun sekali untuk doa keselamatan bagi masyarakat
Cerekang. Di samping itu, juga ada ritual pengambilan air suci yang merupakan
salah satu syarat dalam acara masuk istana bagi Raja Luwu.
Beberapa
daerah/hutan adat yang dijadikan tempat
ritual komunitas adat Cerekang antara lain :
a. Ujung Tanah,
merupakan hutan adat yang berfungsi sebagai penahan air, ketika terjadi banjir
di hulu sungai cerekang sehingga mencegah meluapnya air ke perkampungan
masyarakat Cerekang.
b. Tomba , merupakan
suatu wilayah hutan adat yang dipergunakan sebagai tempat ritual jika
berhubungan dengan pertanian/perkebunan.
c. Ponsewoni, merupakan
hutan adat yang sangat utama yang oleh masyarakat dipercaya sebagai mula tana/bola tanah atau permulaan
tanah. Yang dipergunakan sebagai tempat ritual maggawe (meminta) reski dan keselamatan. Mengunjungi tempat ini
bisa melalui darat maupun sungai karena mempunyai anak sungai yang bisa di
lalui perahu. Serta harus melalui izin dari puak
atau perangkat adat. Jadi daerah ini tidak terbuka untuk umum. Disinilah
tempat pengambilan air suci yang dipergunakan dalam proses upacara-upacara adat
yang dilaksanakan di kedatuan Luwu, misalnya mapacokkong ri baruga.
d. Kasosoe,
merupakan wilayah hutan adat yang dipergunakan sebagai tempat ritual meminta
kepintaran.
e. Birue,
merupakan wilayah hutan adat yang
dipergunakan sebagai tempat ritual meminta awaraniang
atau keberanian.
f. Mangkulili,
merupakan wilayah hutan adat yang dipercaya komunitas adat Cerekang, sebagai
tempat pohon Wallenrenge ,yang dibuat
perahu yang digunakan Sawerigading menuju Tanah
Cina.
g. Lengkong, merupakan
suatu wilayah hutan adat (nipah dan bakau) yang dipergunakan sebagai tempat
ritual mengenai kelautan atau hasil laut.
Pengelolaan
hutan adat Cerekang dilakukan oleh pemangku adat. Hutan adat Cerekang secara
garis besar dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu hutan biasa atau pangngale’
dan hutan adat atau pangngale’ ada’ tomatoa. Hutan biasa boleh
dikelola dan dimanfaatkan hasil hutannya, baik kayu maupun bukan kayu.
Sementara pangngale’ ada tomatoa atau hutan keramat sama sekali tidak
boleh diapa-apakan karena mengandung nilai sejarah orang-orang yang dimuliakan
oleh masyarakat adat Cerekang, seperti Sawerigading dan Batara Guru.
DAFTAR
PUSTAKA
Albar.2010.Skripsi Komunitas Adat Cerekang di Luwu
Timur. Makassar. Universitas Negeri Makassar
Fadillah, Moh. Ali dan Sumantri, Iwan.2000. Kedatuan Luwu, Perspektif Arkeologi,
Sejarah dan Anrtropologi. Makassar: Lembaga Penerbitan Unhas dan Institute
Etnografi Indonesia
Hakim, Budianto dan Irfan Mahmud. 2006. Investigasi Arkeologi Atas Legenda Luwu di
Pesisir Timur Teluk Bone, dalam Fadillah, Moh.Ali dan Iwan Sumantri, Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi,
Sejarah, dan Antropologi. Jendela Dunia
M. Akil As .2008. Luwu : Dimensi Sejarah, Budaya, dan Kepercayaan. Makassar: Pustaka
Refleksi
Manda, Darman. 2008. Komunitas Adat Karampuang . Makassar. Badan Penerbit Universitas
Negeri Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar