Jumat, 05 Desember 2014

perpolitikan di Indonesia

nih contoh makalah yang bahas mengenai perpolitikan di indonesia



BAB I
PERPOLITIKAN INDONESIA
Pengertian Politik
Secara etimologi, POLITIK berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
Interaksi warga Negara terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Secara terminologi politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada. Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan (individu).
Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.
Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Masih banyak lagi pengertian mengenai politik atau ilmu politik yang disampaikan oleh para ahli. Sedangkan lebih praktiksnya lagi politik mempelajari negara sebagai suatu lembaga yang terus bergerak dengan tujuan dan fungsi-fungsi kelembagaannya sebagai negara yang dinamis.
            Pandangan setiap orang yang berbeda-beda menyebabkan pengertian politik juga memiliki pengertian yang beragam dari para ahli. Berikut adalah beberapa pandangan dari para ahli mengenai pengertian politik.
1.      Menurut Ramlan Surbakti  (1999 : 1) politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
2.      Menurut Kartini Kartono (1996 : 64) politik dapat diartikan sebagai aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat.
  1. Menurut Sri Sumantri, Politik adalah pelembagaan dari hubungan antar manusia yang dilembagakan dalam bermacam-macam badan politik baik suprastruktur politik dan infrastruktur politik.
  2. Menurut Mirriam Budiharjo, Politik adalah bermacam-macam kegiatan dari suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem indonesia dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
  3. Menurut Isjware, Politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan / teknik menjalankan kekuasaan / masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan / pembentukan dan penggunaan kekuasaan.
  4. ROD HAGUE, mendefinisikan politik sebagai kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya.
7.      ANDREW HEYWOOD, mengatakan, Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerjasama.
  1. CARL SCHMIDT, mengatakan, Politik adalah suatu dunia yang didalamnya orang-orang lebih membuat keputusan - keputusan daripada lembaga-lembaga abstrak.
Dari beberapa definisi di atas dapar disimpulkan bahwa  politik adalah serangkaiaan usaha atau cara yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang dalam mencapai suatu keinginan atau tujuan tertentu.
Setiap negara memiliki system politik di negaranya masing-masing. System politik yang dianut tersebut itulah yang mempengaruhi situasi pemerintahan di negaranya. System politik selalu berubah dari waktu ke waktu disesuaikan dengan faktor ekonomi, masyarakat, gaya sosial serta faktor eksternal (global) yang mampu mempengaruhi negaranya. Di Indonesia sendiri, Sistem Politik negaranya telah mengalami tiga kali transisi. Masa pertama yang dimulai dengan Sistem Politik Orde Lama, Sistem Politik Orde Reformasi, Sistem Politik Orde Baru.
Sistem Politik Indonesia
Sebelum kita memahami tentang apa dan bagaimana tentang sistem politik, alangkah baiknya jika pemahaman tentang ”sistem” terlebih dahulu telah diketahui. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari istilah ini sering dijumpai, namun penjelasan lebih lanjut tentang sistem dan politik akan diuraikan sebagai berikut.
Prof. Pamudji mengartikan ”sistem” sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh. Suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh, di mana di dalamnya terdapat komponen-komponen yang pada gilirannya merupakan sistem tersendiri yang mempunyai fungsi masing-masing, saling berhubungan satu sama lain menurut pola, tata atau norma tertentu dalam rangka mecapai suatu tujuan.
Sistem dapat pula diartikan sebagai kumpulan fakta-fakta, pendapat-pendapat, kepercayaan-kepercayaan dan lain-lain yang disusun dalam suatu cara yang teratur; seperti sistem filsafat. Ada juga yang mengartikan bahwa sistem selalui dimulai dari suatu tempat dan diakhiri di tempat lain pula. Kalau kita kaitkan langsung dengan sistem politik bukanlah pekerjaan gampang, sebab sistem politik bukan diatur oleh orang perorangan, tapi oleh peranan yang telah melembaga. Jadi sistem dianggap sebagai ”pola yang relatif tetap” dri hubungan antara manusia yang melibatkan makna yang luas dari kekuasaan, aturan-aturan dan kewenangan.
Suatu sistem politik terdiri dari interaksi peranan para warga negara. Orang sama dalam sistem politik dapat sekaligus memainkan peranan lain seperti dalam sistem ekonomi, sosial, keagamaan dan lain-lain. Para ahli politik dalam memberikan batasan tentang sistem politik sangat beragam, antara lain sebagai berikut ;
a.   Rusandi Simuntapura
Sistem politik ialah mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik dalam hubungan satu sama lain yang menunjukkan suatu proses yang langgeng.
b.   Sukarna
Sistem politik ialah suatu tata cara  untuk mengatur atau mengolah bagaimana memperoleh kekuasaan di dalam negara, mengatur hubungan pemerintah dan rakyat atau sebaliknya, dan mengatur hubungan antara negara dengan negara atau dengan rakyatnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sistem politik ialah tata cara mengatur negara.
c.   David Easton
 Sistem politik dapat diperkenalkan sebagai interaksi yang diabstraksikan dari seluruh tingkah laku sosial sehingga nilai-nilai dialokasikan secara otoritatif kepada masyarakat.
d.   Robert Dahl
Sistem politik merupakan pola yang tetap dari hubungan antara manusia serta melibatkan sesuatu yang luas dan berarti tentang kekuasaan, aturan-aturan, dan kewenangan.
e.   Almond
Sistem politik adalah sistem interaksi yang ditemui dalam masyarakat merdeka serta menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi. Fungsi integrasi yang dijalankan oleh sistem politik adalah untuk mencapai kesatuan dan persatuan dalam masyarakat yang bersangkutan. Fungsi adaptasi adalah fungsi penyesuaian terhadap lingkungan.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa dalam sistem politik mencakup hal-hal sebagai berikut :
a.   Fungsi integrasi dan adaptasi terhadap masyarakat, baik ke dalam maupun keluar.
b.   Penerapan nilai-nilai dalam masyarakat berdasarkan kewenangan.
c.   Penggunaan kewenangan atau kekuasaan, baik secara sah ataupun tidak.
Sistem politik baik modern maupun primitif sifatnya memiliki ciri-ciri yang ada padanya – Almond dalam The Politics of Developing Areas, mengatakan ada 4 (empat) ciri dalam sistem politik:
a         Semua sistem politik termasuk yang paling sederhana mempunyai kebudayaan politik. Dalam pengertian bahwa masyarakat yang paling sederhanapun mempunyai tipe struktur politik yang terdapat dalam masyarakat yang paling kompleks sekalipun. Tipe-tipe tersebut dapat diperbandingkan satu sama lain  sesuai dengan tingkatan dan bentuk pembidangan kerja yang teratur.
b        Semua sistem politik menjalankan fungsi-fungsi yang sama walaupun tingkatannya berbeda-beda yang ditimbulkan karena perbedaan struktur. Hal ini dapat diperbandingkan yaitu bagaimana fungsi-fungsi itu tadi sering dilaksanakan atau tidak dan bagaimana gaya pelaksnaannya.
c         Semua struktur politik biar bagaiamanapun juga dispesialisasikannya baik pada masyarakat yang primitif maupun yang yang modern melaksanakan banyak fungsi. Oleh karena itu sistem politik dapat membandingkan sesuai dengan tingkat kekhususan tugas.
d        Semua sistem politik adalah sistem campuran dalam pengertian kebudayaan. Secara rasional tidak ada struktur dan kebudayaan yang semuanya modern atau semuanya primitif melainkan dalam pengertian tradisional, semuanya adalah campuran atara unsur modern dan tradisional.
Dalam memahami cara kerja sistem politik pada umumnya, peran input dan output mempunyai pengaruh besar terhadap kebijakan publik. Hoogerwerf berpendapat bahwa ”input” bisa berasal dari sistem lain, misalnya sistem ekonomi, misalnya sistem ekonomi. Sistem ekonomi yang terkena dampak dari kebijaksanaan pemerintah akan memberikan reaksi tertentu, mungkin memperkuat atau bertentangan. Reaksi ini merupakan input bagi sistem politik untuk diproses lebih lanjut. Di samping itu, input juga bisa berasal dari perilaku politik berupa unjuk rasa/demonstrasi atau tindakan makar sebagai dampak dari output sistem politik.
Macam-macam Sistem Politik
Macam-macam sistem politik yang hendak diuraikan, sesungguhnya merupakan tipe, atau model yang mendasarkan pada sudut kesejarahan dan perkembangan sistem politik dari berbagai negara yang disesuaikan dengan perkembangan kultur dan struktur masyarakatnya.
Almond dan Powell, membagi 3 (tiga) katagori sistem politik yakni:
a         Sistem-sistem primitif yang intermittent (bekerja dengan sebentar-sebentar istirahat). Sistem politik ini sangat kecil kemungkinannya untuk mengubah peranannya menjadi terspesialisasi atau lebih otonom. Sistem ini lebih mencerminkan suatu kebudayaan yang samar-samar dan bersifat keagamaan (parachiale).
b        Sistem-sistem tradisional dengan struktur-struktur bersifat pemerintahan politik yang berbeda-beda dan suatu kebudayaan “subyek”.
c         Sistem-sistem modern di mana struktur-struktur politik yang berbeda-beda (partai-partai politik, kelompok-kelompok kepentingan dan media massa) berkembang dan mencerminkan aktivitas budaya politik “participant”.
Alfian, mengklasifikasikan sistem politik menjadi 4 (empat) tipe, yakni:
a         Sistem politik otoriter/totaliter
b        Sistem politik anarki
c         Sistem politik demokrasi
d        Sistem politik demokrasi dalam transisi.
Ramlan Surbakti dalam mengklasifikasikan sistem politik menggunakan model sistem politik dengan empat macam kriteria, sebagai berikut :

Perbandingan Sistem Politik
Jenis Variabel
Sispol Otokrasi Tradisional
Sistem Politik Totaliter
Sistem Politik Demokrasi
Sispol Negara Berkembang
Kebaikan Bersama
Tidak ada persa-maan dan kebeba-san politik. Ada stratifikasi ekono-mi, nilai & moral.
Tidak ada persa-maan dan kebeba-san politik. Sama rata dan sama rasa dalam kebutuhan materiil.
Ada persamaan dan kebebasan politik. Tidak ada stratifikasi ekono-mi materiil/ moril.
Tidak tetap/ mencari bentuk. Tidak tentu.
Identitas Bersama
Primordial (sara). Pemimpin lam-bang kebersama-an.
Bersifat sakral. Ideologi sebagai agama politik.
Bersatu dalam perbedaan.
Campur tangan pemerintah begitu luas.
Hubungan Kekuasaan
Pribadi negatif, sedikit konsensus Ada pada Raja/ Emir.
Monopoli, sentral, tunggal dan non-konsensus. Ada Pimpinan partai.
Distribusi. Kekua-saan yang relatif merata. Ada pada Presiden/ Perda-na Menteri.
Dominatif, ne-gatif, paksaan ta-pi dapat dengan konsensus. Ada pada Presiden/ PM.
Legitimasi Kewena-ngan.
Otokrat, berdasar tradisi.
Totaliter, doktri-ner dan paksaan.
Rule of law dan konstitusional.
Belum ada pola/ pihak penguasa.
Hubungan Politik & Ekonomi.
Penguasa kaya dan rakyat miskin.
Partai pengendali politik dan ekono-mi rakyat.
Rakyat ambil bagi-an secara aktif/ mekanisme pasar.
Pola hubungan, baru mencari bentuk (sentral/ desentralisasi).

                  Menurut Almond dan Coleman terdapat bermacam-macam sistem politik yang terpenting, khususnya yang banyak berlaku di negara-negara berkembang. Diantara sistem politik yang ada antara lain sebagai berikut :

No
Nama Sistem
Politik
Uraian/Keterangan
a.
Demokrasi Politik
Demokrasi Politik adalah suatu sistem di mana ada kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang berfungsi. Kekuasaan legislatif dipiliih secara periodik dalam pemilu yang bebas. Badan tersebut mengontrol eksekutif. Terdapat macam-macam kelompok dengan kepentingan yang sama yang otonom, partai-partai politik, dan sarana-sarana yang bebas untuk pembentukan pendapat/opini.
b.
Demokrasi Terpimpin
Struktur formal sistem ini boleh dikatakan sama dengan demokrasi politik. Karena kesulitan tertentu diusahakan untuk menyesuaikan dengan struktur formal dan prakteknya untuk menjalin ada pemerintahan secara efektif. Di sini kekuasaan lebih terkonsentrasi kepada eksekutif dan ikatan kekuasaan eksekutif lebih erat dengan partai pemerintah dengan ruang gerak terbatas kepada oposisi. Pendapat umum didominasi oleh pemerintah.
c.
Oligarki Pembangunan
Sistem ini digunakan dengan mengingat masalah-masalah mengenai pelaksanaan demokrasi dan perlunya mengadakan modernisasi dengan cepat. Konsentrasi kekuasaan di tangan pemerintah yang dianggap syarat pembangunan dan persatuan. Sistem pengawasan ada di tangan militer atau rezim sipil yang didukung oleh elit yang besar jumlahnya. Parlemen tidak punya kekuasaan lagi dan hanya sebagai persetujuan serta pemberi nasihat rencana peraturan. Tidak ada tempat untuk oposisi. Sebagai pelaksanaan kekuasaan tergantung kepada birokrasi yang ada. Kekuasaan yudikatif tidak bebas lagi. Militer dan politik bekerja menumpas gerakan di bawah tanah. Kampanye dari nasional dan melancarkan proyek-proyek pembangunan.
d.
Oligarki Totaliter
Terdapat kekuasaan kepada rezim totaliter tradisional, seperti rezim fasis di jerman dan Italia dahulu serta rezim nasionalis jepang sebelum PD II. Rezim ini tidak mentolelir ada kekuasaan lain di sampingnya. Elite politiknya mempunyai ideologi yang konsisten dan terperinci dan menjabarkan sistem pemerintahan.
e.
Oligarki Tradisional
Sistem politik ini peninggalan dari kebudayaan pramodern. Elite dinasti dapat bertahan lama karena dapat menghindar dari  penjajahan, seperti Etiopia. Kekuasaan raja mendapat pengesahan karena tradisi, aparat negara terbatas kewajibannya, desa-desa tidak mendapat perhatian dan tak banyak mendapat pengaruh. Pengangkatan jabatan atas pertimbangan pribadi.

Demokrasi Sebagai Sistem Politik
Kata demokrasi dalam sistem politik, memiliki makna umum yaitu : adanya perlindungan hak asasi manusia, menjunjung tinggi hukum, tunduk terhadap kemauan orang banyak, tanpa mengaikan hak golongan kecil agar tidak timbul diktator mayoritas. Sebuh sistem politik demokrasi yang kuat, yaitu apabila bersumber pada “kehendak rakyat” dan bertujuan untuk mencapai kebaikan atau kemaslahatan bersama. Untuk itu, demokrasi  selalu berkaitan dengan persoalan perwakilan kehendak rakyat.
Sistem politik demokrasi, menurut Bingham Powel, Jr. ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a         Legitimasi pemerintah didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya, artinya klaim pemerintah untuk patuh pada aturan hukum didasarkan pada penekanan bahwa apa yang dilakukan merupakan kehendak rakyat.
b        Pengaturan yang mengorganaisasikan perundingan (bargaining)untuk memperoleh legitimasi dilaksanakan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Pemilihan dipilih dengan interval yang teratur, dan pemilih dapat memilih diantara beberapa alternatif calon. Dalam praktiknya, paling tidak terdapat dua partai politik yang mempunyai kesempatan untuk menang sehingga pilihan tersebut benar-benar bermakna.
c         Sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting.
d        Penduduk memilih ecara rahasia dan tanpa dipaksa.
e         Masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers. Baik partai politik yang lama maupun yang baru dapat berusaha untuk memperoleh dukungan.
SUPRA STRUKTUR DAN INFRA STRUKTUR POLITIK DI INDONESIA
            Pada setiap sistem politik negara-negara dunia, akan selalu dijumpai adanya struktur politik. Struktur politik di dalam suatu negara, adalah pelembagaan hubungan organisasi antara komponen-komponen yang membentuk bangunan politik. Struktur politik sebagai bagian dari struktur yang pada umumnya selalu berkenaan dengan alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif, yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan.
            Permasalahan politik menurut Alfian, dapat dikaji melalui berbagai pendekatan yaitu dapat didekati dari sudut kekuasaan, struktur politik, komunikasi politik, konstitusi, pendidikan dan sosialisasi politik, pemikiran dan kebudayaan politik.
Sistem politik yang pada umumnya berlaku di setiap negara, meliputi dua struktur kehidupan politik yakni ; Infra Struktur Politik dan Supra Struktur Politik.
1        Infra Struktur Politik
            Di dalam suatu kehidupan politik rakyat (the social – political sphere), akan selalu ada sangkut paut atau bersinggungan dengan kelompok-kelompok anggota masyarakat lain ke dalam berbagai macam golongan yang biasanya disebut “kekuatan sosial politik masyarakat”. Kelompok masyarakat tersebut yang merupakan kekuatan politik riil di dalam masyarakat, disebut “infra struktur politik”. Berdasarkan teori politik, infra struktur politik mencakup 5 (lima) unsur atau komponen sebagai berikut : a) partai politik (political party), b) kelompok kepentingan (interest group), c) kelompok penekan (pressure group), d) media komunikasi politik (political communication media), dan e) tokoh politik (political figure).

Partai Politik  (Political Partai) di Indonesia
            Partai politik sebagai institusi, mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Hubungan ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat yang melahirkannya. Kalau kelahiran partai politik sebagai pengejawantahan dari kedaulatan rakyat dalam politik formal, maka semangat kebebasan selalu dikaitkan orang dalam membicarakan partai politik sebagai pengendali kekuasaan.
            Sebagaimana dikatakan oleh Husazar dan Stevenson dalam bukunya Political Science, bahwa partai politik (parpol) adalah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar supaya dapat melaksanakan program-programnya dan menempatkan/mendudukkan anggota-anggotanya dalam jabatan pemerintah. Suatu partai politik berusaha untuk memperoleh kekuasaan dengan dua cara; pertama, ikut serta dalam pelaksanaan pemerintahan secara sah, dengan tujuan bahwa dalam pemilu memperoleh suara mayoritas dalam badan legislatif. Dan kedua, mungkin bekerja secara tidak sah/melakukan subversib untuk memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara yaitu melalui revolusi atau coup d`etat.
            Berdasarkan perjalanan sejarah kehidupan partai politik di Indonesia, secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut :
a         Masa Pra Kemerdekaan
            Organisasi modern pertama di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap penjajah (tidak secara fisik) adalah Budi Utomo yang di dirikan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908. Pada awalnya, organisasi ini berkembang di kalangan pelajar dalam bentuk studieclub dan organisasi pendidikan. Namun dalam perkembangan berikutnya menjadi partai-partai politik yang didukung kaum terpelajar dan massa buruh tani.
            Berikut adalah partai-partai yang berkembang sebelum kemerdekaan dengan tiga aliran besar, yaitu Islam, Nasionalis, dan Marxisme/Komunisme.

No
Nama Parpol
Uraian / Keterangan
1.
Sarekat Islam (1912),  Muhammadiyah (1912)
Partai Sarekat Islam (SI) dianggap pelopor partai yang beraliran Islam. Hal yang menarik dari partai SI, adalah mampu mengidentifikasi dirinya dengan aspirasi politik Bumi Putera untuk memperjuangkan kemerdekaan.
2.
PKI (1921)
Partai yang bercorak ideologi Marxisme/Komunisme, awalnya berhasil mempengaruhi massa rakyat dengan memperke-nalkan analisa Lenin dan Bucharin tentang imperalisme sebagai tingkat terakhir dari kapitalisme. PKI awalnya mencoba mempelopori perjuangan anti kolonialisme /imperialisme. Namun pada tahun 1926-1927 kehilangan simpati rakyat setelah melakukan pemberontakan berdarah.
3.
Indische Partij (1912), PNI (1927) ,Partai Indonesia (1931),  Partai Ra-kyat Indonesia/ PRI (1930), Partai Indonesia Raya/ Parindra (1931).
Merupakan partai yang beraliran nasionalisme dengan perjuangan utama adalah untuk mencapai kemerdekaan dari kolonialisme/imperialisme bangsa penjajah. Golongan nasionalis yang dipersonifikasikan dengan Sukarno-Hatta, dianggap sebagai rival utama golongan Islam karena digerakan oleh kaum terpelajar yang berasal dari berbagai agama dan golongan. Dilihat dari pengikutnya, merupakan runner up dari setelah golongan Islam, kendatipun tokoh-tokohnya belum melebihi dari golongan Islam sekaliber Mohammad Natsir.

b        Masa Pasca Kemerdekaan (Tahun 1945 – 1965)
            Tumbuh suburnya partai-partai politik pasca kemerdekaan, didasarkan pada Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945 yang ditandatangani Wakil Presiden Moh. Hatta yang antara lain memuat keinginan pemerintah akan kehadiran partai politik agar masyarakat dapat menyalurkan aspirasi (aliran pahamnya) secara teratur. Sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tersebut, dapat diklasifikasi sejumlah partai politik yang ada sebagai berikut :
1)      Dasar Ketuhanan :
a)      Partai Masjumi,
b)      Partai Sjarikat Indonesia,
c)      Pergerakan Tarbiyan Islamiah (Perti),
d)      Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Nahdlatul Ulama (NU)  dan
e)      Partai Katholik.
2)       Dasar Kebangsaan :
a)      Partai Nasional Indonesia (PNI)
b)      Partai Indonesia Raya (Parindra)
c)      Persatuan Indonesia Raya (PIR)
d)      Partai Rakyat Indonesia (PRI)
e)      Partai Demokrasi Rakyat (Banteng)
f)       Partai Rakyat Nasional (PRN)
g)      Partai Wanita Rakyat (PWR)
h)      Partai Kebangsaan Indonesia (Parki)
i)        Partai Kedaulatan Rakyat (PKR)
j)        Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI)
k)      Ikatan Nasional Indonesia (INI)
l)        Partai Rakyat Jelata (PRJ)
m)    Partai Tani Indonesia (PTI)
n)      Wanita Demokrasi Indonesia (PTI)
3)      Dasar Marxisme :
a)      Partai Komunis Indonesia (PKI)
b)       Partai Sosialis Indonesia
c)      Partai Murba
d)      Partai Buruh
e)      Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
4)      Dasar Marxisme :
a)      Partai Demokrat Tionghoa (PTDI)
b)      Partai Indonesia Nasional (PIN)
c)      Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
            Alfian, mengelompokkan partai politik hasil Pemilu 1955, sebagai berikut :
1.    Aliran Nasionalis : PNI, PRN, PIR Hazairin, Parindra, Partai Buruh, SKI, dan PIR-Wongsonegoro.
2.    Partai Islam : Masjumi, NU, PSII, dan Perti.
3.     Aliran Komunis : PKI, SOBSI dan BTI.
4.     Aliran Sosialis : PSI, dan GTI.
5.     Aliran Kristen : Partai Katolik, dan Parkindo.
Salah satu ciri utama kehidupan politik masa demokrasi liberal ditandai dengan pergantian kabinet yang berulang kali rata-rata berumur 8 (delapan) bulan. Persaingan antar elit partai politik besar (nasionalis, Islam dan Komunis), telah membawa negara pada instabilitas politik berkepanjangan. Hal ini berakibat mandeknya pembangunan ekonomi dan rawannya keamanan, karena perhatian lebih ditujukan pada pembenahan bidang politik.
Melihat konflik yang berkepanjangan di tubuh Badan Konstituante dalam merumuskan UUD yang bersifat tetap tidak segera terwujud, mendorong Presiden Soekarno menggunakan kekuasaan ekstra-konstitusional dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang selanjutnya melahirkan demokrasi terpimpin. Dalam kurun waktu 1959 – 1965, tampak antara Soekarno, PKI dan TNI AD saling bersaing, sementara itu partai politik lain kurang menunjukkan aset yang berarti dalam percaturan politik.
PKI dengan kelihaiannya telah mampu memobilisasi massa sampi pelosok desa dengan kader-kadernya yang militan dengan memberi keyakinan kemenangan segera diraih, akhirnya melakukan pengucilan kekuatan TNI dan melakukan pemberontakan G 30S/PKI dengan jatuhnya 7 (tujuh) korban perwira tinggi dan menengah TNI – AD. Dari malapetaka G 30S/PKI, mendorong segenap potensi bangsa yang terdiri dari Militer, Angkatan 66, Umat Islam dan ditambah kekuatan sosial keagamaan lain bergerak menumpas PKI. Kehancuran Orde lama ditandai dengan surutnya politisi sipil dari gelanggang politik dan naiknya peranan militer yang oleh Alfian, diberi istilah dengan “format politik baru”.
c         Masa Orde Baru (Tahun 1966 - 1998)
            Awal kebangkitan Orde Baru (1966) dalam melakukan pembenahan institusi politik, tetap berpandangan bahwa jumlah partai politik yang terlalu banyak, tidak menjamin stabilitas politik. Usaha pertama disamping memulihkan partai-partai yang tidak secara resmi dilarang, adalah menyusun undang-undang tentang pemilu yang dianggap sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu. Dan pemilu yang direncanakan dilakanakan dalam waktu dekat, ternyata baru terlaksana tahun 1971 dengan peserta sebanyak 10 partai politik, yaitu :
1)      Golongan Karya (Golkar)
2)      Partai Nasional Indonesia (PNI)
3)       Nahdatul Ulama (NU)
4)      Partai Katolik
5)      Partai Murba
6)      Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
7)      Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
8)      Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
9)      Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan
10)  Partai Islam Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah)
            Hasil Pemilu 1971, menunjukkan kemenangan Golkar yang diikuti oleh Parmusi, NU, dan PNI. Khusus untuk kemenangan Golkar, tidak lepas dari jasa ABRI yang dibantu oleh pemerintah. Dalam perkembangan lebih lanjut, pemerintah melakukan penyederhanaan partai politik secara melembaga melalui proses fusi ; partai yang berbasis Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam) menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP); partai yang berbasis sosialis dan nasionalis (Parkindo, Partai Katolik, PNI, Murba dan IPKI) menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Selanjutnya, dengan diberlakukannya UU No.3 Tahun 1975 maka pemilu 1977 dan 1982 hanya 3 (tiga) peserta yang masing-masing mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)      PPP dengan ciri ke-Islaman dan ideologi Islam
2)      Golkar dengan ciri kekaryaan dan keadilan sosial
3)      PDI dengan ciri demokrasi, kebangsaan (nasionalisme) dan keadilan.
            Pada pemilu tahun 1987 dan 1992 dengan diberlakukannya UU No.3 Tahun 1985, Partai Politik dan Golkar ditetapkan hanya mempergunakan satu-satunya asas yaitu Pancasila dengan tujuan agar setiap kontestan setiap pemilu lebih berorientasi pada program kerja masing-masing. Penerapan asas tersebut, berlangsung sampai dengan pelaksanaan pemilu 1997. Fakta memperlihatkan, bahwa selama pemilu Orde Baru Golkar selalu dominan. Dalam Pemilu 1971 Golkar meraih (62,8%), tahun 1977 (62,1%), tahun 1982 (64,3%), tahun 1987 (73,2%), tahun 1992 (68,1%) dan pada tahun 1997 (70,2%).
            Untuk lebih jelasnya tentang perbandingan perolehan suara partai peserta pemilu selama Orde Baru dalam perolehan Jumlah Suara dan Kursi yang diperoleh setiap OPP (Organisasi Peserta Pemilu), dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

No
Tahun Pemilu
Partai Politik Peserta Pemilu
Partai Persatuan Pembangunan  (PPP)
Golongan Karya (Golkar)
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
1.
1971
14.833.942 (96)
34.348.673 (236)
5.516.849 (30)
2.
1977
18.722.138 (99)
39.313.354 (232)
5.459.987 (29)
3.
1982
20.871.880 (94)
48.334.724 (242)
5.919.702 (24)
4.
1987
13.701.428 (61)
62.783.680 (299)
9.324.708 (40)
5.
1992
16.624.647 (62)
66.599.331 (282)
14.565.556 (56)
6.
1997
25.340.028 (89)
84.187.907 (325)
3.463.225 (11)
                                                                            Data diambil dari Lembaga Pemilihan Umum (LPU).
                        Era orde baru mengalami anti klimaks kekuasaan setelah pada tahun akhir tahun 1997 negara Indonesia mengalami krisis moneter yang selanjutnya berkembang menjadi krisis multidimensi karena terperangkap hutang luar negeri yang besar dan banyaknya praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang melibatkan pejabat birokrasi dan pengusaha.
d        Masa/ Era Reformasi (Tahun 1999 s.d. Sekarang)
            Era reformasi, benar-benar merupakan arus angin perubahan menuju demokratisasi dan asas keadilan. Partai-partai politik diberikan kesempatan untuk hidup kembali mengikuti pemilu dengan multi partai yang diselenggarakan pada tanggal tahun 1999 berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1999. Sangat mengejutkan bagi semua elemen masyarakat Indonesia, ternyata pasca orde baru (di era reformasi) pemilu diikuti sebanyak 48 partai politik, yaitu :

No
Nama Partai Politik
No
Nama Partai Politik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

12.
13.
14.

15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Partai Indonesia Baru (PIB)
Partai Kristen Indonesia (Krisna)
Partai Nasional Indonesia (PNI)
Partai Aliansi Demokrat Indonesia
Partai Kebangkitan Muslim Indonesia
Partai Umat Islam (PUI)
Partai Kebangkitan Umat (PKU)
Partai Masyumi Baru (PMB)
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Partai Abul Yatama
Partai Kebangsaan Merdeka (PKM)
Partai Demokrasi Kasih Bangsa PDKB)
Partai Amanat Nasional (PAN)
Partai Rakyat Demokrat (PRD)
Partai Syarikat Islam Indonesia 1905
Partai Katolik Demokrat
Partai Pilihan Rakyat (Pilar)
Partai Rakyat Indonesia (PARI)
Partai Politik Islam Masyumi
Partai Bulan Bintang (PBB)
Partai Solideritas Pekerja
Partai Keadilan
Partai Nahdlatul Ulama
26.

27.
28.
29.
30.

31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.

39.
40.
41.
42.
43.

44.
45.

46.
47.
48.
Partai Nasional Indonensia (PNI) Front Marhaenis
Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
Partai Republik
Partai Islam Demokrat
Partai Nasional Indonesia (PNI) Massa Marhaen
Partai Musyawarah Rakyat Banyak
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Partai Golongan Karya (Golkar)
Partai Persatuan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Partai Uni Demokrasi Indonesia
Partai Buruh Nasional
Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
Partai Daulat Rakyat
Partai Cinta Damai
Partai Keadilan dan Persatuan (PKP)
Partai Solideritas Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI)
Partai Nasional Bangsa Indonesia
Partai Bhineka Tunggal Ika
Partai Solideritas Uni Nasional Indonesia (SUNI)
Partai Nasional Demokrat (PND)
Partai Ummat Muslimin Indonesia
Partai Pekerja Indonesia

Kelompok Kepentingan (Interest Group)
            Kelompok kepentingan (interest group), dalam gerak langkahnya akan sangat tergantung kepada sistem kepartaian yang diterapkan dalam suatu negara. Aktivitas kelompok kepentingan umumnya menyangkut tujuan-tujuan yang lebih terbatas, dengan sasaran-sasaran yang monolitis dan intensitas usaha yang tidak berlebihan. Kelompok kepentingan bisa menghimpun ataupun mengeluarkan dana dan tenaganya untuk melaksanakan tindakan-tindakan politik yang biasanya berada di luar tugas partai politik.
            Dalam hal-hal tertentu, kelompok kepentingan seringkali bergandengan erat dengan salah satu partai politik, adakalanya menjaga jarak/bersifat independen, tidak menutup kemungkinan kelompok kepentingan melakukan negosiasi dan mencari dukungan dengan berbagai partai yang diprediksikan akan dan mampu memperjuangkan kepentingannya demi pencapaian tujuannya.
            Menurut Gabriel A. Almond, kelompok kepentingan dapat diidentifikasi ke dalam jenis-jenis kelompok sebagai berikut :
a)      Kelompok Anomik
            Kelompok-kelompok anomik ini terbentuk di antara unsur-unsur dalam masyarakat secara spontan dan hanya seketika, dan karena tidak memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur, kelompok ini sering bertumpang tindih (overlap) dengan bentuk-bentuk partisipasi politik non-konvensional, seperti demonstrasi, kerusuhan, tindak kekerasan politik dan sebagainya. Tetapi kita harus hati-hati menilai, sebab seringkali yang nampak anomik itu kadang-kadang merupakan tindakan yang direncanakan secara teliti oleh kelompok kepentingan yang terorganisir.
b)      Kelompok Non-Assosiasonal
            Kelompok kepentingan non-asosiasional, biasanya jarang yang terorganisir rapi dan kegiatannya bersifat kadang kala. Ini mungkin berwujud kelompok-kelompok keluarga dan keturunan atau etnik, regional, status dan kelas yang menyatakan kepentingan secara kadang kala melalui individu-individu, klik-klik, kepala keluarga atau pemimpin agama, dan semacam itu. Misalnya, keluhan dari delegasi informal suatu kelompok linguistik mengenai bahasa pengantar di sekolah, permintaan dari beberapa tuan tanah kepada seorang birokrat dalam suatu klub sosial informal tentang tarif hasil pertanian dan sebagainya.
            Pertemuan-pertemuan sosial, pesta-pesta tidak resmi, dan semacamnya seringkali menciptakan situasi yang memungkinkan pembicaraan tawar-menawar (bargaining) antara para pembuat keputusan dan kelompok-kelompok warga negara yang memiliki kepentingan yang sama.
c)      Kelompok Institusional
            Organisasi-organisasi seperti partai politik, korporasi bisnis, badan legislatif, militer, birokrasi, dan gereja seringkali mendukung kelompok kepentingan institusional atau memiliki anggota-anggota yang khusus bertanggung jawab melakukan kegiatan lobbying. Kelompok ini bersifat formal dan memiliki fungsi-fungsi politik atau sosial lain di samping artikulasi kepentingan. Tetapi, baik sebagai badan hukum maupun sebagai kelompok-kelompok lebih kecil dalam badan hukum itu (seperti fraksi-fraksi badan legislatif, klik-klik perwira, departemen, dan klik-klik ideologis dalam birokrasi). Kelompok semacam ini bisa menyatakan kepentingannya sendiri maupun mewakili kepentingan dari kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Bila kelompok-kelompok kepentingan institusional sangat berpengaruh, biasanya akibat dari basis organisasinya yang kuat.
            Klik-klik militer, kelompok-kelompok birokrat, dan pemimpin-pemimpin partai sangat dominan di negara-negara belum maju, di mana kelompok kepentingan asosiasional sangat terbatas jumlahnya atau tidak efektif. Misalnya, di banyak negara baru di Asia dan Afrika pemerintahan hasil pemilihan umum seringkali dijatuhkan dan diganti oleh rezim-rezim militer otoriter.
d)     Kelompok Assosiasonal
            Kelompok asosiasional meliputi serikat buruh, federasi kamar dagang atau perkumpulan usahawan dan insdustrialis, paguyuban etnik, persatuan-persatuan yang diorganisir oleh kelompok-kelompok agama, dan sebagainya. Secara khas kelompok ini menyatakan kepentingan dari suatu kelompok khusus, memakai tenaga staff profesional yang bekerja penuh, dan memiliki prosedur teratur untuk memustuskan kepentingan dan tuntunan.
            Kegiatan politik utama dari kelompok asosiasional antara lain melakukan tawar menawar (bargaining) di luar saluran-saluran partai politik dengan pejabat-pejabat pemerintah tentang peraturan pemerintah dan usul rencana undang-undang di parlemen. Mereka juga berusaha mempengaruhi opini masyarakat dengan mengiklankan kampanye-kampanye, misalnya, penentangan terhadap usaha nasionalisasi perusahaan tertentu.
            Pelaksanaan kegiatan kelompok kepentingan di dalam suatu negara akan sangat bergantung kepada sistem politik pemerintah dalam hal sistem kepartaiannya. Kiprah suatu kelompok kepentingan, akan sangat berbeda pada negara yang menganut sistem kepartaian tunggal dan sistem kepartaian dua partai/ lebih (dwi atau multi parti). Untuk lebih jelasnya perhatikan pada matrik di bawah ini.

Sistem Kepartaian Suatu Negara
Partai Tunggal (Totaliter)
Dwi Partai (Dua partai atau lebih)
  Kelompok kepentingan sangat dibatasi, karena pemerintahan totaliter (Fasisme, Komunisme, dan Nazisme).
  Partisipasi politik sulit berkembang dan tidak kompetitif.
  Rakyat dipaksa menerima satu ideologi yang menggiring ke arah pola tingkah laku yang seragam.
  Aspirasi rakyat/kebebasan dalam berbicara dan media komunikasi pers sangat dibatasi pemerintah.
  Rakyat sering dimobilisir ke arah aksi politik yang sudah digariskan penguasa.
  Pemerintah sering membuat suasana yang secara psikologis menakutkan rakyatnya.
  Pola kelompok kepentingan tidak lebih hanya sekedar pendukung kelompok yang mapan saja.
  Kelompok kepentingan berpeluang tumbuh dan berkembang dengan pesat (di negara-negara Demokrasi).
  Partisipasi politik yang pluralitas, sehingga terjadi suasana kompetitif.
  Ideologi diterima sebagai pedoman tingkah laku yang perlu dikembangkan dalam berbagai aspek kehidupan.
  Adanya kebebasan berbicara dan media komunikasi yang didukung struktur masyarakat yang demokratis.
  Tersedianya saluran untuk berhubungan dengan pusat-pusat pemerintahan.
  Akses dalam mencapai tujuan-tujuan kebijakan umum, jauh lebih luas.
  Kelompok kepentingan berperan seba-gai saluran yang meningkatkan fungsi wakil-wakil dalam proses pembuatan keputusan.

            Kelompok kepentingan pada negara totaliter (partai tunggal), pada umumnya dianut oleh negara komunis (Rusia, RRC, Vietnam, Korea Utara, Kuba dan lain-lain). David Lane, (seorang analisis politik) mengidentifikasi ada sebanyak 5 (lima) kategori kelompok kepentingan di Uni Soviet (Rusia) sebagai berikut
a)      Elite politik, seperti anggota-angota politbiro.
b)      Kelompok-kelompok institusional, seperti serikat-serikat dagang.
c)      Kelompok-kelompok pembangkang yang setia, seperti para dokter dan guru.
d)     Pengelompokkan-pengelompokkan sosial yang tidak terorganisir dalam satu kesatuan, seperti petani dan tukang.
e)      Kelompok-kelompok yang tidak terorganisir dalam satu kesatuan, yang bukan merupakan bagian dari aparat Soviet (Rusia), atau yang mempunyai jarak dengan rezaim penguasa, seperti kelompok intelektual yang menentang rezim atau anggota sekte-sekte keagamaan tertentu.
            Pada negara yang menerapkan sistem dua partai, disiplin partai baik dalam parlemen maupun kabinet relatif lebih ketat dan hal ini merupakan kendala tersediri terutama untuk mendukung sepenuhnya program-program kelompok-kelompok tertentu. Siasat yang sering digunakan oleh kelompok kepentingan biasanya dengan mensponsori atau menolak sama sekali amandemen undang-undang. Tidak bisa dipungkiri bahwa kelompok kepentingan dapat memainkan peranan yang cukup penting pada negara-negara yang menganut sistem dua partai.
            Di negara berkembang pada umumnya, dan khususnya di Indonesia masyarakat yang tergabung dalam kelompok kepentingan biasanya sensitif terhadap isu politik dalam lingkup kelompok politik yang sempit. Masyarakat masih dibatasi realita hak politiknya (terutama masa orde baru) oleh para pemegang kekuasaan negara/pemerintah, dengan asumsi demi stabilitas politik. Nampak bahwa pada masa itu pemegang kekuasaan negara/pemerintah cukup tangguh mengendalikan kehidupan politik supaya terdapat keleluasaan bagi proses pembangunan bidang kehidupan lainnya. Hal ini berakibat timpangnya distribusi sumber daya politik dan masyarakat menjadi ketergantungan dengan elite politik, sehingga kedewasaan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan positif dalam proses politik terhambat.
            Namun pasca orde baru (tahun 1998) yang disebut dengan era reformasi, telah membawa masyarakat dalam tumbuhkembangnya partisipasi politik “demokratisasi” setelah selama 32 tahun dikekang dengan berbagai instrumen politik dan peraturan perundangan. Berkembangnya sistem politik di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari peran kelompok kepentingan yang selama orde baru berkuasa berseberangan, terutama dari kalangan akademisi, politikus, lembaga swadaya masyarakat, pengusaha dan sebagainya.
            Kelompok Penekan (Pressure Group)
Kelompok penekan (pressure group) merupakan salah satu institusi politik yang dapat dipergunakan oleh rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan kebutuhannya dengan sasaran akhir adalah untuk mempengaruhi atau bahkan membentuk kebijaksanaan pemerintah. Adapun cara yang dipergunakan dapat melalui persuasi, propaganda, atau cara-cara lain yang dipandang lebih efektif. Kelompok penekan dapat terhimpun dalam beberapa asosiasi yang mempunyai kepentingan sama, antara lain :
a)        Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
b)        Organisasi-organisasi sosial keagamaan,
c)        Organisasi Kepemudaan,
d)        Organisasi Lingkungan Hidup,
e)        Organisasi pembela Hukum dan HAM, serta
f)         Yayasan atau Badan hukum lainnya.
Mereka pada umumnya dapat menjadi kelompok penekan dengan cara mengatur orientasi tujuan-tujuannya yang secara operasional (melakukan negosiasi/lobby) sehingga dapat mempengaruhi kebijaksanaan umum. Kelompok pengusaha, industriawan dan asosiasi lainnya sering menggunakan tenaga mereka (menjadi negosiator/pelobbyst) untuk memperjuangkan kepentingannya.
Dalam realitas kehidupan politik, kita mengenal berbagai kelompok penekan baik yang sifatnya sektoral maupun regional. Tujuan dan target mereka biasanya bagaimana agar keputusan politik berupa undang-undang atau kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemrintah lebih menguntungkan kelompoknya (sekurang-kurangnya tidak merugikan). Manakala ada rancangan undang-undang/kebijaksanaan atau program yang merugikan kelompoknya dan menguntungkan kelompok lain, dengan berbagai cara mereka akan berusaha menghalang-halangi.
Kelompok penekan, kadang-kadang muncul lebih dominan dibanding dengan partai politik, manakala partai politik peranannya tidak bisa lagi diharapkan untuk mengangkat isu sentral yang mereka perjuangkan. Kondisi inilah yang mendorong kelompok penekan tampil kedepan sebagai alternatif terkemuka. Untuk memperbesar pengaruh, mereka acapkali berusaha menciptakan image masyarakat yang baik terhadap kelompoknya, yakni dengan menampilkan program-program kemasyarakatan berupa aksi sosial, aksi politik guna menumbuhkan kesadaran politik masyarakat. Tidak jarang mereka menampilkan aktivitas rekreatif, olahraga dan kepemudaan serta menerbitkan laporan-laporan kegiatannya dalam media massa. Hal ini dilakukan untuk menciptakan pendapat umum yang menguntungkan kelompoknya.
Media Komunikasi Politik (Political Communication Media)
Media komunikasi politik merupakan salah satu instrumen politik yang dapat berfungsi untuk menyampaikan informasi dan persuasi mengenai politik baik dari pemerintah kepada masyarakat maupun sebaliknya. Media komunikasi antara lain berupa surat kabar, telefon, faximile, internet, televisi, radio, film, dan sebagainya dapat memainkan peran penting terhadap penyampaian informasi serta pembentukan/mengubah pendapat umum dan sikap politik publik.
Ada beberapa terori komunikasi yang membahas tentang peranan komunikasi yang membahas tentang peranan komunikasi massa dalam pembangunan.

No
Teori Komunikasi
Uraian / Keterangan
1.
Null
Peranan komunikasi sedikit sekali maknanya atau bahkan tidak penting sama sekali, justru faktor-faktor yang betul penting dalam pembangunan adalah faktor ekonomis, dan faktor-faktor lain seperti pendidikan, kemajuan kebudayaan, stabilitas politik dan komunikasi massa dianggap tidak relevan bahkan tergantung pada perkembangan ekonomi.
2.
The Enthusiastic Positition (Pandangan Antusias)
Komunikasi media massa mempunyai peranan yang menentukan dalam perjuangan mencapai perdamaian dan kemajuan kemanusiaan dalam setiap lingkup kegiatan. Bahkan potensi komunikasi massa dianggap sebagai kunci ajaib bagi seluruh proses pembangunan.
3.
The Coutious Position (Pandangan Hati-hati)
Komunikasi massa tidaklah terlalu besar pengarusnya (omnipotent) yaitu bahwa penyebaran pesan-pesan (messages) melalui media massa itu tidak menjamin akan timbulnya perhatian, penelaahan, perubahan sikap atau tindakan, terhadap pesan itu; dan bahwa faktor sosial budaya dapat menghalangi, mengaburkan atau bahkan menghapus sama sekali pesan-pesan media itu.
4.
The Pragmatic Posisition (Pandangan Pragmatis)
Komunikasi massa harus mampu menyesuaikan diri dengan berbagai macam data dan hipotesa dari segala situasi dan kultural. Ia mengakui bahwa media massa mungkin saja tidak berpengaruh, meskipun berpengaruh tetapi terbatas atau sangat berpengaruh, tergantung pada kondisi-kondisi yang ada. Ia tidak menolak kemungkinan efek-efek media yang langsung maupun tidak langsung melalui orang-orang yang berpengaruh besar, kemungkinan efek-efeknya yang segera bisa diukur maupun efek-efek jangka panjang melalui pertambahan yang hampir-hampir tidak dapat dilihat.

Tokoh Politik (Political Figure)
            Pengangkatan tokoh-tokoh politik merupakan proses transformasi seleksi terhadap anggota-anggota masyarakat dari berbagai sub-kultur, keagamaan, status sosial, kelas dan atas dasar isme-isme kesukuan dan kualifikasi tertentu, yang kemudian memperkenalkan mereka pada peranan-peranan khusus dalam sistem politik. Bagi aktor-aktor politik itu sendiri, pengangkatan diri mereka selalu melalui proses, yaitu :
a)      Transformasi dari peranan-peranan non-politis kepada suatu situasi dimana mereka menjadi cukup berbobot memainkan peranan-peranan politik yang bersifat khusus.
b)      Pengangkatan dan penugasan untuk menjalankan tugas-tugas politik yang selama ini belum pernah mereka kerjakan, walaupun mereka telah cukup mampu untuk mengemban tugas seperti itu. Proses pengangkatan itu melibatkan baik persyaratan status maupun penyerahan posisi khusus pada mereka.
            Faktor sebab dan akibat yang dapat berpengaruh dalam proses pengangkatan tokoh-tokoh politik adalah sebagai berikut :

Pengangkatan Tokoh-Tokoh Politik
Faktor Sebab
Faktor Akibat
Pengangkatan tokoh-tokoh politik akan menentukan kesempatan bagi partisipasi politik dan kesempatan untuk mendapatkan status. Ia juga akan mempengaruhi segala bentuk kebijaksanaan umum yang akan dike-luarkan, mempercepat atau memperlambat pertumbuhan dan perubahan sosial, mempe-ngaruhi distribusi kekuasaan dan prestise sosial, serta stabilitas sistem itu sendiri.
Mengambarkan sistem nilai di dalam masya-rakat serta derajat konsistensi dan kontradik-sinya, derajat dan tipe representativitas sistem tersebut, dasar-dasar stratifikasi sosial dan artikulasinya dengan sistem politik, serta struktur dan perubahan di dalam peranan-peranan politik yang berlangsung.
     
            Di dalam benak masyarakat sering timbul pertanyaan apakah pengangkatan tokoh-tokoh politik akan berpengaruh besar terhadap pembangunan dan perubahan ?. Pada umumnya pengangkatan tokoh-tokoh politik akan memberikan angin segar dalam memaparkan beberapa komponen perubahan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Hal lain, nampaknya pada negara-negara berkembang menunjukkan adanya pertumbuhan  ekonomi dari pola agraris ke arah ekonomi yang bertumpu pada kekuatan industri.
            Pengangkatan tokoh-tokoh politik akan berakibat terjadinya pergeseran disektor infrastruktur politik, organisasi, asosiasi-asosiasi, kelompok-kelompok kepentingan serta derajat politisasi dan partisipasi masyarakat. Hal ini mungkin saja terjadi, manakala terciptanya iklim yang kondusif dalam proses sosialisasi politik, pemberian kesempatan kerja dan usaha yang adil dan merata di semua lapisan masyarakat.
            Menurut Lester G. Seligman, bahwa proses pengangkatan tokoh-tokoh politik akan berkaitan dengan beberapa aspek yakni :
  1. Legitimati elit politik,
  2. Masalah kekuasaan,
  3. Representativitas elit politik, dan
  4. Hubungan antara pengangkatan tokoh-tokoh politik dengan perubahan politik.

            Di negara-negara demokrasi pada umumnya, pengangkatan tokoh-tokoh politik dilakukan melalui pemilihan umum. Hal ini akan berbeda jika dilaksanakan di negara-negara totaliter, diktator atau otoriter. Kriteria dan persyaratan politik lain dalam sistem politik masyarakat yang sudah maju adalah “representativitas”. Tugas-tugas politik diluncurkan sekaligus didesak oleh beberapa kelompok yang berpengaruh dan memiliki wakil-wakilnya, seperti juru bicara dan wali-wali lainnya yang berperan dalam sistem. Pada negara-negara yang sedang berkembang pengelompokan masih didasarkan atas persamaan daerah, suku bangsa, bahasa dan agama. Ada juga yang berdasarkan persamaan profesi, dan keahlian tertentu.

Supra Struktur Politik
            Di dalam kehidupan sehari-hari, antara suasana kehidupan politik rakyat (the social-political sphere) dan suasana kehidupan politik pemerintah (the governmental political sphere) kedua bidang kehidupan tersebut hanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Demikian juga antara infrastruktur politik dan supra struktur politik di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam sistem politik negara.
            Supra struktur politik (elit pemerintah), merupakan mesin politik resmi di suatu negara sebagai penggerak politik formal. Kehidupan politik pemerintah bersifat kompleks, karena akan bersinggungan dengan lembaga-lembaga negara yang ada, fungsi dan wewenang/kekuasaan antara lembaga yang satu dengan lainnya. Suasana ini pada umumnya dapat diketahui di dalam konstitusi atau undang-undang dasar dan peraturan perundangan-undangan suatu negara
            Perihal yang menduduki kekuasaan pada supra struktur politik di suatu negara, secara umum dapat dilihat berikut ini.
Supra Struktur Politik
Pada Negara Monarki
Pada Negara Republik
Kelompok elit pemerintah biasanya dikuasi oleh keluarga bangsawan, atau oleh suatu kabinet manakala raja/ratu berperan sebagai lambang kebesaran atau sebagai alat pemer-satu. Kabinet /dewan menteri dapat dibentuk berdasarkan pemilu atau karena restu raja/ ratu, tergantung tingkat pendemokrasiannya. Raja atau ratu sebagai elit politik kedudukan-nya adalah turun temurun.
Tidak sedikit elit politik bersifat diktator, karena kekuasaannya dipegang sendiri atau direkayasa untuk memegang jabatan pemerin-tahan. Namun juga banyak yang bersifat demokratis. Hal ini sangat tergantung pada Konstitusi/UUD-nya yang mengatur pemba-gian kekuasaan di suatu negara. Lembaga-lembaga kekuasaan inilah yang memegang kendali pemerintahan dalam arti luas.

            Dalam perkembangan ketatanegaraan modern, pada umumnya elit politik pemerintah dibagi dalam kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif (yang mengadili pelanggaran undang-undang) dengan sistem pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan.
            Untuk terciptanya dan mantapnya kondisi politik negara, maka supra struktur politik harus memperoleh dukungan dari infra struktur politik yang mantap pula. Rakyat, baik secara berkelompok berupa partai politik atau organisasi kemasyarakatan, maupun secara individual dapat ikut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakil-wakilnya. Dengan demikian berarti bahwa sistem politik dan juga mekanisme pemerintahan (government mechanism) dapat memenuhi fungsinya, manakala :
a)      Sistem politik mampu mempertahankan pola, dalam arti dapat mempertahankan tata cara, kebiasaan-kebiasaan, norma-norma dan prosedur-prosedur yang berlaku. Pola ini dapat dipertahankan apabila rakyat menerima dan meyakini, sedangkan penerimaan dan pengakuan sesuatu pola dalam satu sistem politik tergantung diikutsertakan/diwakili tidaknya rakyat dalam mekanisme pemerintahan tersebut.
b)      Sistem politik mampu menyelesaikan ketegangan, dalam arti dapat mendamaikan perselisihan, konflik dan perbedaan pendapat yang selalu timbul dalam masyarakat dengan cara dan prosedur yang sedapat mungkin memuaskan semua pihak. Cara-cara penyelesaian berupa konsultasi, perundingan/negosiasi dan pencairan alternatif terbaik, melalui musyawarah untuk mufakat merupakan cara penyelesaian yang sangat menguntungkan semua pihak untuk menyelesaikan ketegangan.
c)      Perubahan-perubahan, dalam arti memiliki kemampuan adaptasi yang besar untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangannya yang terjadi baik di dalam negeri maupun dalam rangka hubungan internasional yang bersifat interdependesi dan interrelasi antar negara.
d)     Sistem politik harus mampu mewujudkan tujuan nasional, dalam arti kristalisasi keinginan anggota masyarakat menjadi tekad yang harus dicapai dan menentukan cara untuk mencapai tujuan itu. Hal ini bisa berupa Garis-garis Besar Haluan Negara dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai dasar yuridis formal dalam upaya meraihnya.
e)      Sistem politik harus mampu mengintegrasikan dan menjamin keutuhan seluruh sistem sosial, karena ancaman, hambatan terhadap sistem sosial yang berupa rasa ketidakpuasan, keresahan, ketegangan, perpecahan/disentegrasi merupakan masalah yang harus diselesaikan oleh sistem politik itu sendiri.
            Supra Struktur politik di negara Indonesia sejak bergulirnya gerakan reformasi tahun 1998 sampai dengan tahun 2006, telah membawa perubahan besar di dalam sistem politik dan ketatanegaraan republik Indonesia. Era reformasi disebut juga sebagai “Era Kebangkitan Demokrasi”. Presiden B.J. Habibie dalam pidato kenegaraan di hadapan DPR/MPR pada tanggal 15 Agustus 1998, antara lain menyebutkan :
a)      Esensi Reformasi Nasional, adalah koreksi terencana, melembaga dan berkesinambungan terhadap seluruh penyimpangan yang telah terjadi dalam bidang ekonomi, politik dan hukum.
b)      Sasarannya, adalah agar bangsa Indonesia bangkit kembali dalam suasana yang lebih terbuka, lebih teratur dan demokratis. Penetapan sasaran ini dilandasi oleh kesadaran bahwa “penyakit utama” rezim Orde Baru adalah dikenal Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang telah terbukti mengakibatkan lemahnya daya tahan bangsa dan negara di segala bidang, terutama bidang ekonomi, politik dan hukum.
            Program reformasi yang digulirkan oleh pemerintahan B.J. Habibie (sebagai peletak dasar) dan K.H. Abdurahman Wahid (sebagai penerus), dalam bidang politik dapat disebutkan sebagai berikut :

Strategi /Kebijaksanaan
Keterangan / Tindak Lanjut
Menegakkan kembali demokrasi yang bertumpu pada partisipasi aktif rakyat. Pemberian ruang gerak yang luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan yang diwujudkan antara lain dalam bentuk :
a.        pembentukan partai-partai politik dan organisasi lainnya.
b.        Kebebasan unjuk rasa/demonstrasi dalam menyampaikan aspirasi.
  Menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan bertanggung jawab dengan cara :
a.           bersih dari praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
b.           memberikan pelayanan kepada masyarakat secara adil dan merata.






a.       Dikeluarkannya UU No. 2/1999 tentang “Partai Politik”.
b.      Dikeluarkannya UU No. 9/1998 tentang “Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat”
a.       Dikeluarkannya Ketetapan MPR No.IX/ MPR/1998 tentang “Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN”.
b.      Keluarnya UU No. 5/1999 tentang “Pega-wai Negeri yang menjadi anggota Partai Politik”.

            Reformasi di bidang politik dan hukum ketatanegaraan, yaitu dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 selama 4 (empat kali) dari tahun 1999 – 2002. Amandemen pertama, disahkan (19 Oktober 1999), kedua (18 Agustus 2000), ketiga (10 November 2001) dan keempat (10 Agustus 2002). Adanya amandemen UUD 1945 tersebut, telah merubah struktur supra politik di Indonesia sebagai berikut :
Sebelum Amandemen
Setelah Amanden
Lembaga Tertinggi Negara :
  Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Lembaga Tinggi Negara :
1.      Presiden
2.      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3.      Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
4.      Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
5.      Mahkamah Agung
Lembaga Negara :
1.      Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2.      Presiden
3.      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
4.      Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
5.      Mahkamah Agung
6.      Mahkamah Konstitusi


C.   PERBEDAAN SISTEM POLITIK DI BERBAGAI NEGARA
  1. Pendekatan Sistem Politik Negara
Untuk mengetahui adanya perbedaan sistem politik diberbagai negara, terlebih dahulu perlu dipahami fungsi dari sistem politik tersebut. Terdapat 3 (tiga) fungsi politik yang tidak secara langsung terlibat dalam pembuatan dan pelaksanaan pemerintahan (public policy), tetapi sangat penting dalam menentukan cara bekerjanya sistem  politik, yaitu sebagai berikut :
a)          Sosial Politik. Setiap sistem  politik merupakan fungsi pengembangan dan memperkuat sikap-sikap politik di kalangan penduduk umum, bagian-bagian dari penduduk, atau melatih rakyat untuk menjalankan peranan-peranan politik, administratif, dan judicial tertentu. Fungsi ini melibatkan keluarga, sekolah, media komunikasi, lembaga keagamaan, pekerjaan dan berbagai struktur politik.
b)          Rekrutmen Politik (Political Recruitment). Rekrutmen merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan masa jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media kemunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, pendidikan dan ujian.
c)          Komunikasi Politik. Komunikasi Politik merupakan jalan mengalirnya informasi melalui masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada dalam sistem politik.
Setiap negara memiliki sistem politik yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, dalam mempelajari   proses politik suatu negara diperlukan beberapa pendekatan sebagai berikut

No
Pendekatan
Uraian / Keterangan
1.
Pendekatan Sejarah
Sistem politik dipelajari dari sejarah bangsa. Ada tiga faktor yang mempengaruhi pendekatan ini, yakni masa silam (the past), masa sekarang (the present), dan masa yang akan datang (the future).
2.
Pendekatan Sosiologis
Untuk mempelajari sistem politik suatu negara perlu mempelajari sistem sosial/sistem kemasyarakatan yang ada di suatu negara. Perbedaan-perbedaan sistem sosial akan mempengaruhi terhadap sistem politik suatu negara.
3.
Pendekatan Kultural / Budaya
Pendekatan ini diliihat dari pendidikan dan budaya masyarakatnya. Suatu masyarakat yang anggota-anggotanya telah terdidik dan mempunyai budaya yang tinggi akan berpengaruh terhadap suatu sistem politik dari negara tersebut. Suatu masyarakat yang pendidikan dan budayanya masih rendah akan merupakan hambatan untuk dibawa ke arah pengembangan suatu sistem politik yang modern.
4.
Pendekatan Psycho-Sosial / Kejiwaan masyarakat
Dalam pendekatan dilihat dari sikap-sikap masyarakat yang akan berpengaruh terhadap sikap-sikap politik. Suatu masyarakat yang tertutup atau menolak, terhadap segala perubahan atau pengaruh luar, akan mempengaruhi sistem politik sehingga sistem politik itu pun akan bersifat tertutup.
5.
Pendekatan Filsafat
Dalam  pendekatan ini dibicarakan tentang filsafat yang menjadi way of life dari masyarakat atau bangsa itu. Sistem  politik suatu bangsa/negara akan sulit dipisahkan dari way of life masyarakat/ bangsanya. Suatu masyarakat yang dalam hidupnya selalu mengutamakan kepentingan-kepentingan masyarakat dan pola pikir yang menjunjung tinggi norma-norma adat dan agama maka sistem politiknya tidak akan kepas dari filsafat yang dianut oleh masyarakat/bangsanya.
6.
Pendekatan Ideologi
Di dalam pendekatan ini, suatu sistem politik dilihat dan dipelajari dari ideologi bangsa/negara yang berlaku di dalam negara itu. Ideologi sebagai ajaran yang dihasilkan oleh pemikiran manusia tentang konsep-konsep politik, sosial, ekonomi dan budaya. Dengan kata lain, sistem politik tidak bisa lepas dari doktrin politik, sosial, ekonomi dan budaya yang telah diterima oleh sebagian besar rakyatnya.
7.
Pendekatan Konstitusi dan Hukum
Dalam pendekatan ini, suatu sistem politik dilihat dari konstitusi dan undang-undang serta hukum yang berlaku di dalam negara itu. Jadi, suatu sistem politik tidak bisa dipisahkan dari  konstitusi negara atau hukum yang berlaku dalam negara itu. Dengan demikian, segala kegiatan dari suatu sistem politk akan selalu bersumber dan berpedoman kepada undang-undang dasar dan undang-undang yang dapat mencerminkan apakah sistem politik yang berlaku di negara itu demokratif atau kediktatoran.

  1. Perbedaan Sistem Politik Negara
            Untuk memahami tentang perbedaan sistem politik yang ada pada setiap negara, bukanlah sesuatu yang mudah. Perlu waktu untuk mengadakan studi mendalam tentang apa dan bagaimana suatu negara dijalankan dengan sistem politik yang dianutnya. Berikut ini akan disajikan 3 (tiga) contoh negara yang diharapkan dapat mewakili dari komunitas negara-negara yang ada di dunia, yaitu : a) Sistem politik negara Inggris (liberal), b) Sistem politik negara Republik Rakyat China (Komunis), dan c) Sistem politik negara Indonesia.
a)      Sistem Politik Negara Inggris
No
Faktor Yang Mempengaruhi
Uraian / Keterangan
1.
Latar Belakang Sejarah
Masyarakat Inggris sejak abad 19, mulai merubah bentuk ekonominya dari ekonomi pertanian dan kerajinan tangan menjadi masyarakat industri modern. Para politisi mulai menyesuaiakan sistem politik dan pemerintahannya dengan membuat undang-undang pembaharuan (reform acts) yang disahkan pada tahun 1918. Inggris juga dihadapkan pada masalah upaya membangun kesejahteraan warganegaranya dan persaingan sebagai negara industri muda dengan negara Amerika Serikat, Jerman dan Jepang.
2.
Kondisi Sosiologis
Kondisi masyarakat Inggris yang semula agraris feodal, dengan cepat menyesuaikan menjadi masyarakat industri modern. Oleh sebab itu, masyarakat Inggris dalam waktu cepat mampu bersaing dengan negara –negara lain yang lebih dahulu merintis ke arah industrialisasi. Hal ini dapat difahami, karena sesungguhnya masyarakat Inggris adalah bangsa yang paling ”bersifat kekotaan” atau urban. Meskipun demikian, masyarakat Inggris tetap menghendaki sistem monarki dengan satu raja dan banyak bangsa.
3.
Kondisi Kultural/ Budaya
Sebagian masyarakat Inggris memiliki tingkat pendidikan dan kesejateraan yang baik. Mereka dikenal sebagai masyarakat yang disiplin dan taat pada aturan. Nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan perasaan-perasaan dari kebudayaan politik diwariskan dari generasi ke generasi melalui suatu rangkaian pengalaman dalam keluarga, di sekolah dan ditempat kerja. Pandangan-pandangan politik sekarang, merupakan pencerminan sikap yang mereka pelajari semasa kanak-kanak dan sikap-sikap yang berkembang sesudah dewasa.
4.
Kondisi Psycho-Sosial / Kejiwaan masyarakat
Mayoritas masyarakat Inggris sangat menghormati simbol-simbol kekuasaan negara, seperti ratu/raja, lembaga pemerintah, dan lain-lain. Mereka sangat setia kepada wewenang kekuasaan politik dan senantiasa menunjukkan ketaatannya kepada undang-undang politik azasi.
5.
Pedoman Filsafat
Masyarakat Inggris akan sangat mendukung rejim yang berkuasa, manakala para penguasa juga mentaati undang-undang politik asasi, dan jika dilanggar maka akan mengahadapi perlawanan. Konsep kejahatan politik atau ”kejahatan melawan negara”, hampir tidak dikenal. Siapapun orangnya yang melanggar undang-undang dianggap anti sosial, sehingga orang yang jahat sangat tercela dan dianggap melawan masyarakat.
6.
Paham atau Ideologi yang diterapkan
Penerapan ideologi negara Inggris yang juga pada umumnya dianut oleh negara-negara Eropa (Barat) adalah ideologi liberal. Masyarakat Inggris dalam kehidupan sehari-hari sangat menghormati kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Meskipun simbol kebebasan ada dalam berbagai bidang kehidupan, namun mereka sangat mematuhi peraturan perundang-perundangan. Negara Inggris tidak memiliki konstitusi tertulis, namun jika terjadi perdebatan atas tindakan pemerintah, biasanya diselesaikan oleh kekuatan politik terkuat. Kekuasaan pemerintah Inggris tergantung pada raja/ratu, akan tetapi raja/ratu tersebut hanya berperan sebagai simbol kolektif bagi lembaga-lembaga pemerinah dalam sistem Inggris.
7.
Pedoman Konstitusi dan Hukum
Kekuasaan pemerintah Inggris lebih banyak dibatasi oleh konvensi (hukum tidak tertulis) dari pada hukum formal. Rakyat hidup dalam ketenangan dan kepastian hukum karena pemerintah memberikan perlindungan hukum yang baik dan penghormatan terhadap hak-hak asasi warganegaranya. Aparat penegak hukum tidaklah merasa sebagai wasit yang senantiasa mengawasi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun warganya. Aturan yang dibuat, ditaati oleh semua komponen elit politik, pemerintah maupun masyarakat demi jaminan keamanan dan kesejahteraan bersama.
                 Dalam struktur politik pemerintahan Inggris, pemegang peranan politik pusat digolongan dalam 3 (tiga) bagian, yaitu : para menteri kabinet, para pegawai negeri senior, dan para pegawai tidak tetap lainnya. Para pemegang peranan politik pusat, pengalaman/senioritas sangat dihargai. Bagi seseorang yang ingin ke jenjang karier politik, harus sejak muda mengarah ke jalan karier itu. Pada awalnya, karir seseorang harus memperoleh peranan politik pusat, kemudian secara perlahan-lahan menghimpun pengalaman dan senioritas di samping kecakapan.
                 Penyelenggaraan pemerintah, dilaksanakan oleh kabinet (Perdana menteri dan dewan menteri) serta parlemen yang terdiri dari Majelis Rendah dan Majelis Tinggi. Peranan parlemen dalam merumuskan kebijaksanaan pemerintah dibatasi, karena cara bekerjanya diawasi oleh kabinet. Sedangkan Perdana Menteri dapat memastikan bahwa setiap usul yang diajukan oleh pemerintahnya akan diputuskan dalam parlemen tepat pada waktu yang telah ditetapkan, dan disetujui dalam bentuk yang dikehendaki oleh parlemen.
                 Dalam hal komunikasi politik, media massa televisi dan pers, merupakan industri yang besar dan kompleks, karena dijadikan sebagai saluran-saluran komunikasi politik yang sangat terpusat tetapi kompetitif. Dan untuk itu, masyarakat umum mempercayai kejujuran media siaran itu. Baik koran, radio maupun televisi sangat mempengaruhi pola perilaku politik masyarakat. Antara politisi dan pers sudah terjalin komukasi yang baik, satu sisi wartawan membutuhkan politisi untuk menjadi sumber berita; disisi lain para politisi juga membutuhkan wartawan untuk mempublikasikan pandangan-pandangan dan diri mereka sendiri.
b)      Sistem Politik Negara Republik Rakyat Cina (RRC)
No
Faktor Yang Mempengaruhi
Uraian / Keterangan
1.
Latar Belakang Sejarah
Proses kehidupan sistem politik di China, merupakan produk revolusi antara tahun 1911 s.d. 1949. Revolusi pertama (1911), menggantikan sistem kerajaan yang telah bertahan berabad-abad. Revolusi kedua (1928), dibentuk pemerintah pusat yang baru di bawah Kuomintang dengan dominasi satu partai yang lebih bersemangat, terorganisir, dan terpusat. Revolusi ketiga (1949), menjadikan Partai Komunis Cina (PKC) sebagai penguasa dan membentuk pemerintahan komunis sampai dengan sekarang.
2.
Kondisi Sosiologis
Pada masyarakat Cina tradisional, lembaga-lembaga sosial yang dominan adalah keluarga; setiap individu harus menyesuaikan tindakan-tindakan mereka demi pemeliharaan dan kemakmuran unit itu. Mereka mengakui wewenang kekuasaan para pemimpinnya atas tingkah laku sosial mereka. Wewenang kekuasaan politik, pada tingkat apapun, adalah lebih tinggi daripada tuntutan unsur-unsur dalam masyarakat. Kesetiaan harus diarahkan pada kepentingan kolektif dan bukan pada ikatan-ikatan pribadi.
3.
Kondisi Kultural/ Budaya
Pemerintah Cina sejak tahun 1949, telah mengupayakan pendidikan sabagai salah satu alat yang paling efektif untuk mengubah sikap politik orang-orang Cina. Pemerintah berkepentingan dengan pendidikan, karena dapat mempermudah melakukan mekanisme kontrol dalam mengendalikan warganegara yang mencapai usia sekolah. Melalui pendidikan, masyarakat ikut menanggung beban sosialisasi dan menciptakan masyarakat yang melek huruf sebagai syarat pendidikan politik dan keterlibatan politik. Pemerintah menyadari bahwa beban penduduk yang besar dengan corak agraris, perlu kerja keras dalam memajukan warganegaranya.
4.
Kondisi Psycho-Sosial / Kejiwaan masyarakat
Negara Cina yang memiliki wilayah dan penduduk terbesar di dunia, sebelum menjadikan Partai Komunis Cina berkuasa selalu dilanda perang saudara. Hal ini menyebabkan negara menjadi lemah dan banyak mengalami penyerbuan bangsa asing. Namun dewasa ini, dengan kepercayaan diri yang tinggi telah mampu berada dalam suatu posisi menguasai pengaruh atas suatu wilayah yang sangat luas dan penting. Mereka juga bangga telah memiliki kekayaan budaya yang tinggi yang telah diwariskan oleh para pendahulunya.
5.
Pedoman Filsafat
Mayoritas masyarakat Cina memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Mereka memiliki keyakinan bahwa mobilisasi dan perjuangan adalah inti dari politik.  Sifat-sifat seperti militer --antusiasme, kepahlawanan, pengorbanan, dan usaha bersama – mendapatkan nilai yang tinggi. Azas percaya diri sendiri mempunyai implikasi nasional maupun internasional. Dalam dukungan internasional, meskipun mereka bersimpati, namun mereka tetap menegaskan bahwa setiap gerakan harus bersandar pada sumber-sumber dayanya sendiri demi mencapai tujuannya.
6.
Paham atau Ideologi yang diterapkan
Sistem komunis timbul secara langsung dari periode revolusioner yang bukan diciptakan oleh kaum komunis. Revolusi Cina telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun sebelum partai komunis menjadi kekuatan yang besar dalam politik Cina dan mulai menguasai pemerintahannya. Tidak dapat disangkal bahwa Uni Soviet mempunyai pengaruh kuat melalui penyebaran Marxisme-Leninisme. Anti imperialisme merupakan unsur paling kuat dalam pembentukan ideologi komunis. Penindasan oleh bangsa asing harus dihapuskan dan menjadikan Marxisme-Leninisme sebagai suatu gagasan yang secara langsung relevan dengan kenyataan kehidupan politik Cina.
7.
Pedoman Konstitusi dan Hukum
Berdasarkan Konstitusi tahun 1954, organ wewenang negara tertinggi dan pemegang wewenang legislatif satu-satunya dalam sistem politik negara adalah ”Konggres Rakyat Nasional” (KRN). KRN merupakan badan perwakilan yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih oleh konggres tingkat provinsi, angkatan bersenjata, dan orang-orang Cina perantauan. KRN merupakan forum proses politik untuk mempelajari, mendukung, dan mengesahkan tindakan-tindakan pimpinan pusat yang melambangkan dukungan rakyat. Selain KRN, organ administratif utama dalam struktur politik negara adalah Dewan Negara yang terdiri dari Perdana Menteri, Wakil-wakil Perdana Menteri dan kepala-kepala dari semua kementerian dan komisi. Mereka merupakan pusat kekuasaan negara yang sesungguhnya. Sedangkan Mahkamah Rakyat Tertinggi dan Kejakasaan Rakyat Tertinggi, berdasarkan konstitusi merupakan organ-organ pengadilan yang menyelidiki masalah-masalah dan memberikan putusan pengadilan. Kejaksaan mempunyai kekuasaan yang bebas, termasuk penyelidikan, penuntutan, dan pengawasan secara umum terhadap semua organ negara, termasuk pengadilan-pengadilan.
Dalam menumbuhkan peran serta masyarakat di bidang politik, penguasa komunis berusaha menciptakan kehidupan masyarakat yang sesuai dengan norma-norma sosialisasi politik yang diciptakannya. Hal ini dilakukan oleh para penguasa dengan cara mulai meninggalkan tradisi keluarga yang tidak sesuai dengan nilai-nilai komunisme, menetapkan persamaan hukum antara laki-laki dan wanita, melaksanakan pendidikan umum dan membangun jaringan komunikasi. Jaringan komunikasi yang mencakup berbagai jenis dan isi pesan (message), merupakan usaha partai atau negara secara resmi yang isinya dan pengelolaannya dikendalikan oleh para penguasa pusat.
Sebagian besar jaringan komunikasi sangat dipengaruhi oleh ideologi resmi yang merupakan mekanisme penyatuan bagi yang menyetujui dan yang tidak menyetujui. Jaringan komunikasi lebih banyak ditujukan kepada elite atau sub-elite yang memahami perbincangan ideologi dan merasa ikut bertanggung jawab menerapkannya, menurut kondisi masing-masing daerah kepada seluruh rakyat. Sistem komunikasi merupakan alat komunikasi yang paling efektif dalam memperluas pengetahuan tentang politik dan meningkatkan kepekaan terhadap soal-soal politik.
Penguasa komunis juga berupaya mengikutsertakan setiap warganya dalam kegiatan politik secara teratur dan terorganisir, terutama melalui gerakan-gerakan masa, perwakilan tingkat rendah, keanggotaan dalam organisasi masa, dan partisipasi dalam pengelolaan unit-unit produksi dan unit-unit pemukiman. Untuk kepentingan kaderisasi calon-calon pemimpin komunis, dilakukan rekruitmen aktivis, kader dan anggota partai. Mereka diambil dari organisasi partaim lokal dan para aktivis dilingkungn kekuasaan. Masuk menjadi anggota PKC merupakan tindakan yang menentukan dalam rekruitmen politik yang pada gilirannya akan memperoleh promosi dan kekuasaan.
c)      Sistem Politik Negara Republik Indonesia
No
Faktor Yang Mempengaruhi
Uraian / Keterangan
1.
Latar Belakang Sejarah
Terjadinya negara kesatuan republik Indonesia telah melalui perjalanan politik yang panjang. Bangsa Indonesia harus menghadapi kolonial Belanda selama lk. 350 tahun, dan bala tentara Jepang selama lk. 3,5 tahun untuk mewujudkan Proklamasi Kemerdekaan yang akhirnya terwujudnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasca proklamasi kemerdekaan, para pemimpin Indonesia terlibat dalam proses politik dengan mencari format berdasarkan demokrasi Pancasila. Namun dalam perjalannya mengalami pasang surut politik kenegaraan, karena pernah diterapkan demokrasi liberal (1949 - 1955), demokrasi terpimpin (1955 – 1965) dan selanjutnya adalah demokrasi Pancasila.
2.
Kondisi Sosiologis
Kondisi bangsa Indonesia yang pernah mengalami penjajahan, sangat merasakan penderitaan dan keterbelakangan dalam berbagai bidang kehidupan. Masyarakat Indonesia yang multi bangsa, agama, ras dan antar golongan telah dipersatukan dalam kesatuan politik dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sangat disadari bahwa banyaknya perbedaan akan membawa konsekuensi terjadinya konflik sosial vertikal maupun horizontal. Dengan demikian, upaya saling menghormati dan kerja sama dalam membangun kerukunan hidup penting untuk ditegakkan.
3.
Kondisi Kultural/ Budaya
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun atas dasar sendi-sendi multi kultural, berbeda-beda suku, agama, ras dan antar golongan. Semangat menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, serta rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara telah tertanam di dada setiap warga negara. Budaya musyawarah, toleransi, gotong royong dan saling menghormati telah dapat diwariskan kepada generasi mendatang baik sebagai anggota masyarakat maupun calon pemimpin bangsa melalui jalur-jalur pendidikan formal, in-formal, maupun nor-formal.
4.
Kondisi Psycho-Sosial / Kejiwaan masyarakat
Bangsa sebelum menjadikan Pancasila sebagai dasar negara selalu dapat dipecah belah oleh bangsa lain. Hal ini menyebabkan negara pernah mengalami penjajahan dari kolonial Belanda maupun Jepang. Dengan semangat pantang menyerah, rela berkorban dan cinta tanah air bangsa Indonesia mampu sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bangsa Indonesia secara politik dan dinyatakan di dalam Pembukaan UUD 1945, sangat menentang segala mecam bentuk penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan.
5.
Pedoman Filsafat
Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang merdeka dan berdaulat, berhak menentukan pandangan hidup, cita-cita dan tujuan negaranya. Pandangan hidup bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita dan tujuannya. Pancasila dalam sistem politik Indonesia, telah dijadikan dasar dan motivasi dalam segala sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasionalnya sebagaimana terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945.
6.
Paham atau Ideologi yang diterapkan
Ideologi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, akan selalu dikaitkan dengan proses politik dalam pengaturan penyelengga-raan pemerintahan negara yang meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Hal ini akan dituangkan di dalam konstitusi negara dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam struktur politik, Pancasila menjadi sumber segala sumber hukum yang berarti semua peraturan perundang-undangan harus bersumber pada Pancasila.
7.
Pedoman Konstitusi dan Hukum
Berdasarkan Konstitusi UUD 1945 (amandemen), implementasi demokrasi Pancasila telah memberikan kekuasaan yang besar kepada Presiden. Sejak pemilu 2004, presiden dipilih oleh rakyat sehingga tanggung jawab besarnya adalah kepada rakyat. Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai kekuasaan memerintah dan melaksanakan undang-undang dengan pengawasan dari legislatif (DPR). Dalam sistem politik, DPR berhak menyuarakan aspirasi dan tuntutan-tuntutan rakyat yang diwakilinya. Oleh karena DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden, maka dalam menjalankan kebijaksanaan politiknya kepada eksekutif perlu memperhatikan suara-suara para wakil rakyat tersebut. Pengawasan terhadap pelaksanaan penggunaan anggaran negara oleh lembaga-lembaga penyelenggara negara, dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK). Sedangkan dalam hal pelaksanaan pelanggaran terhadap undang-undang akan dilakukan oleh lembaga yudikatif (Mahkamah Agung) dan Kejaksaan Agung.
Negara Indonesia dalam sistem politik, menerapkan  sistem demokrasi Pancasila yang merupakan suatu paham demokrasi yang bersumber pada pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa Indonesia yang digali dari kepribadian rakyat Indonesia sendiri. Dari falsafah hidup bangsa Indonesia inilah kemudian timbul dasar falsafah negara kita bernama falsafah negara Pancasila yang tercermin dan terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia harus dijiwai oleh sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Oleh karena itu, demokrasi menurut Pancasila atau disebut Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang merupakan perwujudan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang mengandung semangat ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adapun isi pokok pelaksanaan Demokrasi Pancasila sebagai berikut :
a)        Pelaksanaan demokrasi harus berdasarkan Pancasila sebagaimana disebut di dalam Pembukaan UUD 1945, serta penjabarannya dalam Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 1945.
b)        Demokrasi ini harus menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia.
c)        Pelaksanaan kehidupan ketatanegaraan harus berdasarkan atas kelembagaan (institusional). Melalui kelembagaan ini diharapkan segala sesuatunya   dapat diselesaikan melalui saluran-saluran tertentu sesuai dengan UUD 1945.
d)        Demokrasi ini harus bersendi atas hukum sebagaimana dijelaskan di dalam penjelasan UUD 1945.
Menurut Dardji Darmadiharjo, Demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber pada kepribadian dan falsafah hidup Bangsa Indonesia yang perwujudannya seperti dalam Pembukaan UUD 1945. Makna demokrasi Pancasila pada dasarnya adalah perluasan keikutsertaan rakyat dalam berbagai kehidupan bermasyarakat dan kehidupan bernegara yang ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Aturan permainan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara diatur secara melembaga. Keinginan-keinginan rakyat dapat disalurkan, baik melalui lembaga-lembaga negara (suprastruktur) maupun melalui organisasi politik, organisasi masa, dan media politik lainnya (infrastruktur).
Demokrasi Pancasila tidak hanya meliputi demokrasi dibidang pemerintahan atau politik (demokrasi dalam arti sempit), tetapi juga telah berkembang menjadi demokrasi dalam arti yang luas, yaitu meliputi berbagai sistem dalam masyarakat, seperti sistem politik ekonomi, sosial dan sebagainya.
Sistem politik Demokrasi Pancasila menghargai nilai-nilai  musyawarah. Oleh karena itu, kita pun harus memahami bagaimana tata cara bermusyawarah sebagai berikut:
a)        Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat;
b)        Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain;
c)        Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama;
d)       Musyawarah harus diliputi oleh semangat kekeluargaan;
e)        Dengan itikad baik dan rasa tanggungjawab menerima dan melaksanakan keputusan musyawarah;
f)         Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur;
g)        Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Adapun tata cara musyawarah dalam berbagai kehidupan harus mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :
a)        Musyawarah bersumber pada paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
b)        Setiap putusan yang diambil harus selalu dapat dipertanggungjawabkan dan sama sekali tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 beserta penjelasan.
c)        Setiap peserta musyawarah mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam mengeluarkan  pendapat.
d)       Hasil musyawarah atau setiap putusan, baik sebagai hasil mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak harus diterima dan dilaksanakan.
e)        Apabila cara musyawarah untuk mufakat tidak dapat mempertemukan pendapat yang berbeda dan hal ini sudah diupayakan berkali-kali maka dapat digunakan cara lain, misalnya cara pengambilan dengan keputusan suara terbanyak (voting).
Cara pengambilan suara terbanyak (voting) dalam demokrasi Pancasila dilakukan dengan persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
a)        Jika jalan musyawarah untuk mufakat sudah ditempuh secara maksimal, tetapi tidak berhasil mencapai mufakat.
b)        Musyawarah untuk mufakat tidak mungkin diusahakan lagi karena terjadi perbedaan pendapat dan pendirian yang tidak mungkin lagi ditemukan atau didekatkan.
c)        Karena faktor waktu yang mendesak sehingga harus segera diambil keputusan.
d)       Sebelum dilakukan voting kepada semua peserta rapat diberikan kesempatan untuk mempelajari pendirian-pendirian atau pendapat-pendapat yang berbeda itu.
e)        Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah jika diambil dalam rapat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah anggota rapat (quorum) dan disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir memenuhi quorum.\
Setiap peserta musyawarah hendaknya menyadari bahwa yang menjadi tugas utamanya bukan sekadar ikut musyawarah, melainkan turut bertanggungjawab atas terlaksananya semua keputusan musyawarah. Adapun nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap pengambilan keputusan adalah sebagai  berikut :
a)        Legawa atau berlapang dada, artinya bahwa setiap peserta musyawarah harus secara sadar menerima dan melaksanakan keputusan musyawarah itu dengan sepenuh hati.
b)        Religuis, artinya bahwa hasil musyawarah itu harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
c)        Tenggang rasa, artinya bahwa dalam pelaksanaan musyawarah setiap peserta harus mau mendengarkan pendapat orang lain walaupun pendapatnya tersebut kurang berkenan dengan pendapat kita.
d)       Keadilan, artinya bahwa dalam pengambilan keputusan hendaknya setiap peserta musyawarah diperlakukan secara adil. Maksudnya, seluruh peserta diikutsertakan secara layak sebagai peserta lainnya.
e)        Kemanusiaan, artinya bahwa keputusan yang diambil hendaknya menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia jangan sampai merendahkan martabat manusia.
Berikut aspek - aspek yang terkandung dalam Demokrasi Pancasila yaitu sebagai berikut :
a)      Aspek formal yaitu aspek yang mempersoalkan proses dan cara rakyat dalam menunjuk wakil-wakil dalam badan-badan perwakilan rakyat dan pemerintahan serta cara mengatur permusyawaratan wakil-wakil rakyat secara bebas, terbuka dan jujur untuk mencapai konsensus bersama.
b)      Aspek materiil yaitu aspek yang mengemukakan gambaran manusia dan mengakui harkat dan martabatnya dan menjamin terwujudnya Indonesia sesuai dengan gambaran, harkat, dan martabat manusia.
c)      Aspek normatif (kaidah) yaitu aspek yang mengungkapkan seperangkat norma-norma atau kaidah-kaidah yang menjadi pembimbing dan kriteria dalam mencapai tujuan kenegaraan.
Dalam Demokrasi Pancasila terdapat beberapa norma penting yang harus diperhatikan, yaitu keterbukaan, keadilan, dan kebenaran. Ketiga norma tersebut dapat menjadi aturan permainan dalam melaksanakan Demokrasi Pancasila yang harus ditaati oleh siapapun. Selain itu, norma tersebut harus didukung oleh aspek-aspek sebagai berikut :
a)      Aspek Optatif
Aspek ini mengetengahkan tujuan atau keinginan yang hendak dicapai. Tujuan ini meliputi tiga hal, yaitu terciptanya negara hukum, negara kesejahteraan, dan negara kebudayaan.
b)      Aspek Organisasi
Aspek ini mempersoalkan organisasi sebagai wadah pelaksanaan Demokrasi Pancasila. Wadah tersebut harus cocok dengan tujuan yang hendak dicapai. Organisasi ini meliputi organisasi sistem pemerintahan atau lembaga-lembaga negara dan organisasi-organisasi sosial politik di masyarakat.
c)      Aspek Kejiwaan
Aspek kejiwaan dalam Demokrasi Pancasila ialah semangat, yakni semangat para penyelenggara negara dan semangat para pemimpin pemerintahan. Dalam jiwa Demokrasi Pancasila dikenal beberapa aspek kejiwaan, yaitu :
a.         Jiwa Demokrasi Pancasila pasif, yakni hak untuk mendapat perlakuan secara Demokrasi Pancasila.
b.         Jiwa Demokrasi Pancasila aktif, yakni jiwa yang mengandung kesediaan untuk memperlakukan pihak lain sesuai dengan hak-hak yang diberikan oleh Demokrasi Pancasila;
c.         Jiwa Demokrasi Pancasila nasional, yakni jiwa objektif dan masuk akal tanpa meninggalkan jiwa kekeluargaan dalam pergaulan masyarakat;
d.        Jiwa pengabdiaan, yakni kesediaan berkorban demi menunaikan tugas jabatan yang dipangkunya dan jiwa kesediaan berkorban untuk sesama manusia dan warga negara.

PERAN SERTA DALAM SISTEM POLITIK DI INDONESIA
1.      Partisipasi Politik Warga Negara
Istilah partisipai politik diterapkan kepada aktivitas orang dari semua tingkat sistem politik, misalnya ; pemilih (pemberi suara) berpartisipasi dengan memberikan suaranya; menteri luar negeri berpartisipasi dalam menetapkan kebijaksanaan luar negerinya, dan sebagainya.
Dengan demikian, partisipasi politik dapat diartikan penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya, sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam setiap pertanggungjawaban bersama.
Beberapa pengertian Partisipasi Politik menurut para ahli :
1)        Herbert Mc. Closky,  dalam “International Encyclopedia of The Social Science
Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung, dalam proses pembentukan kebijaksanaan umum.
2)        Norman H. Nie dan Sidney Verba, dalam “Handbook of Political Science
Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka.
3)        Prof. Miriam Budiardjo, dalam “Dasar-Dasar Ilmu Politik
Partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang dalam partai politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemi-lihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta – secara langsung atau tak langsung – da-lam pembentukan kebijaksanaan umum.
a.      Bentuk-bentuk Partisipasi Politik
Bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi diberbagai negara, dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang berbentuk konvensional dan non-konvensional, termasuk yang mungkin legal (seperti petisi) maupun ilegal, penuh kekerasan, dan revolusioner. Berikut ini adalah bentuk-bentuk partisipasi politik menurut Almond.
KONVENSIONAL
NON-KONVENSIONAL
*   Pemberian Suara (voting)
*   Diskusi politik
*   Kegiatan kampanye
*   Membentuk dan bergabung dalam kelompok Kepentingan.
*   Komunikasi individual dengan pejabat politik/administratif.
*   Pengajuan petisi
*   Berdemonstrasi
*   Konfrontasi
*   Mogok
*   Tindak kekerasan politik terhadap harta benda; perusakan, pemboman, pembaka-ran.
*   Tindak kekerasan politik terhadap manu-sia ; penculikan, pembunuhan, perang gerilya /revolusi.
Dalam hal partisipasi politik, Rousseau menyatakan bahwa hanya melalui partisipasi seluruh warga negara dalam kehidupan politik secara langsung dan berkelanjutan, maka negara dapat terikat ke dalam tujuan kebaikan sebagai kehendak bersama.
Berbagai bentuk partisipasi politik tersebut dapat dilihat dari berbagai kegiatan warga negara yg mencakup antara lain :
a)        Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan negara.
b)        Lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi input terhadap kebijakan pemerintah.
c)        Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan kepada warga negara untuk dipilih atau memilih, misalnya : berkampanye, menjadi pemilih aktif, menjadi anggota perwakilan rakyat, menjadi calon presiden yang dipilih langsung, dan sebagainya.
d)       Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output kepada pemerintah, misalnya : melalui unjuk rasa, petisi, protets, demonstrasi, dan sebagainya.
Dari berbagai aktivitas-aktivitas ini, kita bisa melihat keberagaman aktivitas dalam partisipasi politik. Dalam hal yang paling sederhana hingga yang kompleks, dari bentuk-bentuk yang mengedepankan kondisi damai sampai tindakan-tindakan kekerasan. Namun seluruh aktivitas ini termasuk dalam kerangka partisipasi politik, setiap tindakan yang berhadapan dengan pembuat dan pelaksana lebijakan, dan partisipan terlibat untuk mempengaruhi jalannya proses tersebut agar sesuai kepentingan dan aspirasinya.
Di tingkat individu, secara lebih spesifik Milbrath M.L. Goel mengidentifikasi tujuh bentuk partisipasi politik individual:

No
Bentuk Partisipasi
Uraian / Keterangan
1.
Aphatetic Inactives
Tidak beraktifitas dan partisipatif, tidak pernah memilih.
2.
Passive Supporters
Memilih secara reguler/teratur, menghadiri parade patriotik, membayarseluruh pajak, “mencintai negara”.
3.
Contact Specialist
Pejabat penghubung lokal (daerah), propinsi dan nasional dalam maslaah-masalah tertentu.
4.
Communicators
Mengikuti informasi-informasi politik, terlibat dalam diskusi-diskusi, menulis surat pada editor surat kabar, mengirim pesan-pesan dukungan dan protes terhadap pemimpin-pemimpin partai politik.
5.
Party and Campaign Workers
Bekerja untuk partai politik atau kandidat, meyakinkan orang lain tentang bagaimana memilih, menghadiri pertemuan-pertemuan, menyumbang uang pada partai politik atau kandidat, bergabung dan mendukung partai politik, dipilih jadi kandidat partai politik.
6.
Community Activist
Bekerja dengan orang-orang lain berkaitan dengan masalah-masalah lokal, membentuk kelompok untuk menangani problem-problem lokal, keanggotaan aktif dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan, melakukan kontak terhadap pejabat-pejabat berkenaan dengan isu-isu sosial.
7.
Protesters
Bergabung dengan dmonstrasi-demonstrasi publik di jalanan, melakukan kerusuhan bila perlu, melakukan protes keras bila pemerintah melakukan sesuatu yang salah, menghadapi pertemuan-pertemuan protes, menolak mematuhi aturan-aturan.

b.      Tingkatan Partisipasi Politik
Tingkat-tingkat partisipasi politik, menurut Huntington dan Nelson terbagi dua kriteria. Pertama, dilihat dari ruang lingkup atau proporsi dari suatu kategori warga negara yang melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan partisipasi politik. Kedua, intensitasnya, atau ukuran, lamanya, dan arti penting dari kegiatan khusus itu bagi sistem politik.
Hubungan tingkat-tingkat partisipasi nampak dalam hubungan “berbanding terbalik”. Lingkup partisipasi politik yang besar biasanya terjadi dalam intensitas yang kecil atau rendah, misal partisipasi dalam pemilihan umum. Sebaliknya jika lingkup partisipasi rendah atau kecil, maka intensitasnya semakin tinggi. Contoh, kegiatan aktivis-aktivis partai politik, pejabat partai politik, dan kelompok-kelompok penekan.
Semakin luas ruang lingkup partisipasi politik, maka semakin rendah atau kecil hasil intensitasnya. Dan sebaliknya, semakin kecil ruang lingkup partisipasi politik, maka intensitasnya semakin tinggi”.
Berdasarkan piramida partisipasi politik, bisa ditemukan tentang tingkatan partisipasi politik memiliki kesusaian. Semakin tinggi tingkat partisipasi politik, semakin tinggi tingkat intensitasnya, dan semakin kecil luas cakupannya. Sebaliknya, semakin menuju ke bawah, maka semakin semakin besar lingkup partisipasi politik dan semakin kecil intensitasnya.
a)     Tingkatan Pengamat
Pada tingkat pengamat, seperti menghadiri rapat umum, memberikan suara dalam pemilu, menjadi anggota kelompok kepentingan, mendiskusikan masalah politik, perhatian pada perkembangan politik, dan usaha meyakinkan orang lain, merupakan contoh-contoh kegiatan yang banyak dilakukan oleh warga negara, artinya proporsi atau lingkup jumlah orang yang terlibat di dalamnya tinggi.
Namun tidak demikian dengan intensitas partisipasi politiknya, terutama kalau dikaitkan dengan arti pentingnya bagi sistem politik, praktik-praktik tersebut pengaruhnya rendah atau tingkat efektifitasnya dalam mempengaruhi kebijakan yang dibuat pemerintah, membutuhkan waktu dan sumber daya yang cukup banyak.
b)     Tingkatan Aktivis
Pada kategori aktivis, para pejabat umum, pejabat partai penuh waktu, pimpinan kelompok kepentingan merupakan pelaku-pelaku politik yang memiliki intensitas tinggi dalam berpartisipasi politik. Mereka memili akses yang cukup kuat untuk melakukan contacting dengan pejabat-pejabat pemerintah, sehingga upaya-upaya untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan pemerintah menjadi sangat efektif.
Terutam bagi pejabat umum, secara politis mereka memiliki peluang yang cukup kuat dalam mempengaruhi kebijakan politik yang dibuat pemerintah, bahkan secara individual bisa mempengaruhi secara langsung. Namun warga negara yang terlibat dalam praktik-praktik partisipasi politik di tingkatan aktivis jumlahnya terbatas, hanya diperuntukkan bagi sejumlah kecil orang (terutama elit politik), yang memiliki kesempatan untuk terlibat dalam proses politik dengan mekanisme dan kekuatan pengaruh seperti ini.
Kegiatan partisipasi politik ditingkat aktivis bukan saja ditempuh dengan cara-cara yang formal-prosedural atau mengikuti aturan yang ditetapkan. Dapat juga ditempuh dengan cara-cara non-formal, tidak mengikuti jalur yang ditetapkan secara hukum, bahkan sampai tindakan kekerasan. Tindakan yang dilakukan bisa berupa pembunuhan, tindakan-tindakan terorisme nasional dan internasional, dan pembajakan.
Tingkatan atau hierarki yang terdapat pada parisipasi politik, sangat tergantung dari akibat yang disebabkannya terhadap sistem politik. Tingkatan partisipasi politik ini disampaikan sebagai berikut:
·         Menduduki jabatan politik atau administratif.
·         Mencari jabatan politik atau administratif.
·         Keanggotaan aktif suatu organisasi politik.
·         Keanggotaan pasif suatu organisasi politik.
·         Keanggotan aktif suatu organisasi semu politik (quasi-political ).
·         Keanggotan pasif suatu organisasi semu politik (quasi-political ).
·         Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya.
·         Partisipasi dalam diskusi politik informal minat dalam bidang politik.
·         Voting (pemberian suara).
Voting merupakan tingkatan partisipasi politik terendah, yang membedakan satu tingkat di atas orang yang apatis total, sementara di atasnya terdapat orang atau sekelompok orang yang sering terlibat dalam diskusi-diskusi politik informal, yang dalam lingkup atau proporsinya lebih rendah namun intensitasnya lebih tinggi. Posisi puncak diduduki oleh warga negara yang menduduki jabatan politik atau administratif, maka terseleksi dengan cukup ketat sehingga jumlahnya relatif sedikit namun memiliki posisi yang cukup kuat untuk terlibat lebih jauh dalam proses-proses politik dan aktivitas-aktivitas tersebut memiliki akibat yang cukup kuat terhadap sistem politik.

c.       Sebab-sebab Timbulnya Gerakan Partisipasi Politik
            Menurut Myron Weiner, bahwa paling tidak terdapat 5 (lima) hal yang dapat menyebabkan timbulnya gerakan ke arah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik antara lain :
a.      Modernisasi
Sejalan dengan berkembangnya industrialisasi, perbaikan pendidikan dan media komunikasi massa, maka pada sebagian penduduk yang merasakan terjadinya perubahan nasib akan menuntut berperan dalam kekuasaan politik.
b.      Perubahan-perubahan Struktur Kelas Sosial
Salah satu dampak modernisasi adalah munculnya kelas pekerja baru dan kela menengah yang semakin meluas, sehingga mereka merasa berkepntingan untuk berpartisipasi secara politik dalam pembuatan keputusan politik.
c.       Pengaruh Kaum Intelektual dan Komunikasi Massa Modern
Kaum intelektual (sarjana, pengarang, wartawan dan sebagainya) melalui ide-idenya kepada masyarakat umum dapat membangkitkan tuntutan akan idenya kepad masyarakat umum dapat membangkitkan tuntutan akan partisipasi massa dalam pembuatan keputusan politik. Demikian juga berkembangnya sarana transportasi dan komunikasi modern mampu mempercepat penyebaran ide-ide baru.
d.      Konflik diantara Kelompok-kelompok Pemimpin Politik
Para pemimpin politik berkompetisi merebutkan kekuasaan. Sesungguhnya apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka mencari dukungan rakyat. Berbagai upaya yang mereka  lakukan untuk memperjuangkan ide-ide partiipasi massa dapat menimbulkan gerakan-gerakan yang menuntut agar “hak-haknya” terpenuhi.
e.       Keterlibatan Pemerintah yang Meluas dalam Urusan Sosial., Ekonomi, dan Kebudayaan.
Perluasan kegiatan pemerintah dalam berbagai bidang membawa konsekuensi adanya tindakan-tindakan yang semakin menyusup ke segala segi kehidupan rakyat. Ruang lingkup aktivitas atau tindakan pemerintah yang semakin luas mendorong timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganasir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
Faktor-faktor Pendukung Partisipasi Politik
a)      Pendidikan Politik
            Menurut Ramdlon Naning, Pendidikan politik adalah usaha untuk memasyarakatkan politik, dalam arti mencerdaskan kehidupan politik rakyat, meningkatkan kesadaran setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; serta meningkatkan kepekaan dan kesadaran rakyat terhadap hak, kewajiban dan tanggungjawabnya terhadap bangsa dan negara.
            Sedangkan dalam pandangan Alfian, Pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul-betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan tingkah laku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal itu, dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru.
            Melalui pendidikan politik, diharapkan kader-kader anggota partai politik tersebut akan memperoleh manfaat atau kegunaan :
1)        Dapat memperluas pemahaman, penghayatan dan wawasan terhadap masalah-masalah atau isu-isu yang  bersifat politis.
2)        Mampu meningkatkan kualitas diri dalam berpolitik dan berbudaya politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang  berlaku.
3)        Lebih meningkatkan kualitas kesadaran politik rakyat menuju peran aktif dan partisipasinya terhadap pembangunan politik bangsa secara keseluruhan.
b)      Kesadaran Politik
            Menurut Drs. M. Taopan, kesadaran politik adalah suatu proses batin yang menampakkan keinsafan dari setiap warga negara akan urgensi (hal terpenting) urusan kenegaraan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kesadaran politik atau keinsafan hidup bernegara menjadi penting dalam kehidupan kenegaraan, mengingat tugas-tugas negara bersifat menyeluruh dan kompleks sehingga tanpa dukungan positif dari seluruh warga masyarakat, tugas-tugas negara banyak yang terbengkelai.
            Di negara berkembang khususnya di Indonesia, masyarakat yang hidup di pedesaan (lk. 70%) dan yang di perkotaan (lk.30%) menuntut penanganan sungguh-sungguh dari aparat pemerintah atau penguasa setempat. Masyarakat pedesaan yang secara kuantitatif jauh lebih besar, sangat minim dalam hal kesadaran berpolitik sehingga berdampak pada kehidupan politik nasional. Hal ini jelas akan berpengaruh terhadap kemajuan pembangunan nasioanl di segala bidang. Dalam hal kesadaran politik masyarakat, Drs. Arbi Sanit antara lain menyatakan “ …. Sekalipun sudah bangkit kesadaran nasional dan meningkatnya aktivitas kehdiupan politik di tingkat pedesaan, namun masyarakat tani masih belum terkait secara aktif kepada pemerintah nasional dalam hubungan timbal balik yg aktif dan responsif. Hubungan yang ada baru bersi-fat berat sebelah, yaitu dari atas ke bawah …. “
            Bila dihubungkan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara, maka partisipasi politik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai wujud tanggung jawab negara yang berkesadaran politik tinggi dan baik. Secara teknis operasional, partisipasi politik anggota masyarakat dapat dilaksanakan dengan cara-cara seperti nampak pada matrik di bawah ini.


No
Bidang
Implementasi Partisipasi politik
1.
Politik
Setiap warga negara dapat ikut serta secara langsung ataupun tidak langsung dalam kegiatan-kegiatan antara lain :
a.       Ikut memilih dalam pemilihan umum,
b.      Menjadi anggota aktif dalam partai politik, kelompok penekan (presure group), maupun kelompok kepentingan tertentu.
c.       Duduk dalam lembaga politik, seperti MPR, Presiden, DPR, Menteri, dan sebagainya,
d.      Mengadakan komunikasi (dialog) dengan wakil-wakil rakyat,
e.       Berkampanye, menghadiri kelompok diskusi, dan lain-lain.
f.        Mempengaruhi para pembuat keputusan sehingga produk-produk yang dihasilkan/dikeluarkan sesuai dengan aspirasi atau kepentingan masyarakat.
2.
Ekonomi
Setiap warga negara dapat ikut serta secara aktif dalam kegiatan-kegiatan antara lain :
a.       Menciptakan sektor-sektor ekonomi yang produktif baik dalam bentuk jasa, barang, transportasi, komunikasi, dan sebagainya.
b.      Melalui keahlian masing-masing, dapat menciptakan produk-produk unggulan yang inovatif, kreatif dan kompetititf dari pada produk luar.
c.       Kesadaran untuk membayar pajak secara teratur demi kesejahteeraan dan kemajuan bersama.
3.
Sosial-Budaya
Setiap warga negara dapat mengikuti kegiatan-kegiatan antara lain :
a.       Sebagai pelajar atau mahasiswa, harus dapat menunjukkan prestasi belajar yang tinggi.
b.      Menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum , seperti misalnya tawuran, narkoba, merampok, berjudi, dan sebagainya.
c.       Profesional dalam bidang pekerjaannya, disiplin, dan produktivitas tinggi untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional.
4.
Hankam
Setiap warga negara dapat ikut serta secara aktif dalam kegiatan-kegiatan antara lain :
a.       Bela negara dalam arti luas, sesuai dengan kemampuan dan profesinya masing-masing.
b.      Senantiasa memelihara ketertiban dan keamanan wilayah atau lingkungan tempat tinggalnya.
c.       Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa demi tetap tegak negara republik Indonesia.
d.      Menjaga stabilitas dan kemanan nasional agar pelaksanaan pembangunan dapat berjalan sesuai dengan rencana.

Kebalikan dari partisipasi politik adalah sikap apatis. Seseorang dinamakan apatis (secara politis), jika dia tidak mau ikut serta dalam berbagai kegiatan politik kenegaraan di berbagai bidang kehidupan seperti tersebut di atas. Dengan demikian sesungguhnya kegiatan-kegiatan pendidikan politik, kesadaran politik, dan partisipasi politik masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan perlu terus didorong dan ditingkatkan demi keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional.

c)      Sosialisasi Politik
            Studi tentang sosialisasi politik, telah menjadi bidang kajian yang sangat menarik akhir-akhir ini. Ada dua alasan yang melaterbelakangi sehingga sosialisasi politik menjadi kajian tersendiri dalam politik kenegaraan.
Pertama : Sosialisasi politik dapat berfungsi untuk memelihara suatu sistem, yaitu agar stabilitas berjalan dengan baik dan positif. Dengan demikian sosialisasi merupakan alat agar individu sadar dan merasa cocok dengan sistem serta kultur (budaya) politik yang ada.
Kedua   :  Sosialisasi politik ingin menunjukkan relevansinya dengan sistem politik dan data mengenai orientasi anak-anak terhadap kultur politik orang dewasa, dan pelaksana-annya di masa mendatang mengenai sistem politik.
            Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan jalan mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik.  Adapun alat yang dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara lain :
1)      Keluarga (family)
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif adalah di dalam keluarga. Di mulai dari keluarga inilah antara orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolan  politik ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.
2)      Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civics education (pendidikan kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik yang benar dari sudut pandang akademis.
3)      Partai Politik
Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai sosialisasi politik. Ini berarti partai politik tersebut setelah merekrut anggota kader maupun simpati-sannya secara periodik maupun pada saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari satu generasi ke generasi berikutnya. Partai politik harus mampu men-ciptakan “image” memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari masyarakat dan senantiasa dapat memenangkan pemilu.