Minggu, 22 September 2013

Pluralisme masyarakat Indonesia

pada kesempatan kemarin aQ udah share tentang materi-materi pokok dari PSB, sekarang kita bakalan bahas mengenai pluralisme di Indonesia yang terkait dengan PSB.
selamat menyimak guys,,,, moga bermanfaat



A.   KARAKTER SISTEM SOSIAL BUDAYA
Karakter sistem sosial budaya bangsa kita meliputi.
1.    Rakyat Indonesia yang pluralistik merupakan kenyataan, yang harus dilihat sebagai aset nasional, bukan resiko atau beban. Rakyat adalah potensi nasional harus diberdayakan, ditingkatkan potensi dan  produktivitas fisikal, mental dan kulturalnya.
2.    Tanah air Indonesia sebagai aset nasional yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote, merupakan tempat bersemayamnya semangat kebhinekaan. Adalah kewajiban politik dan intelektual kita untuk mentransformasikan “kebhinekaan” menjadi “ketunggalikaan” dalam identitas dan kesadaran nasional.
3.    Diperlukan penumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip mutualisme, kerjasama sinergis saling menghargai dan memiliki (shared interest) dan menghindarkan pola pikir persaingan tidak sehat yang menumbuhkan eksklusivisme, namun sebaliknya, perlu secara bersama-sama berlomba meningkatkan daya saing dalam tujuan peningkatan kualitas sosial-kultural sebagai bangsa.
4.    Membangun kebudayaan nasional Indonesia harus mengarah kepada  suatu strategi kebudayaan untuk dapat menjawab pertanyaan, “Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita?” yang tentu jawabannya adalah “menjadi bangsa yang tangguh dan entrepreneurial, menjadi bangsa Indonesia dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsafah dasar Pancasila, bersemangat bebas-aktif mampu menjadi tuan di negeri sendiri, dan mampu berperanan penting dalam percaturan global dan dalam kesetaraan juga mampu menjaga perdamaian dunia”.
B.   METODE PENDEKATAN SISTEM SOSIAL BUDAYA
Terdapat tiga metode pendekatan sistem sosial budaya, yaitu.
1.    Pendekatan fungsional-struktural
Pendekatan ini menganalisis sistem sosial secara makro. Kalangan penganut paradigma ini kerap juga disebut fungsionalis. Pendekatan ini memandang masyarakat adalah sebuah sistem yang teratur dan bersifat stabil. Pendekatan ini juga memandang masyarakat sebagai sistem kompleks yang bagian-bagian di dalamnya bekerja secara bersama guna menghasilkan solidaritas dan stabilitas. Sistem yang stabil ini dicirikan konsensus masyarakat di mana mayoritas anggota (para individu) memiliki perangkat nilai, kepercayaan, dan perilaku yang digunakan secara bersama. Pendekatan ini juga memandang masyarakat terdiri atas bagian-bagian (struktur) yang menjalankan fungsi yang saling berhubungan satu sama lain. Hubungan padu dan harmonis antar struktur dan fungsi tersebut menyumbang pada stabilitas masyarakat. Dalam upaya mencapai stabilitas, masyarakat – menurut para fungsionalis – mengembangkan struktur-struktur sosial (atau lembaga). Struktur sosial adalah pola perilaku sosial yang relatif stabil. Struktur sosial dibutuhkan agar masyarakat tetap ada yang diantaranya direpresentasikan lembaga keluarga, pendidikan, agama, pemerintah ataupun lembaga-lembaga ekonomi (pasar, peternakan, perkebunan, misalnya). Jika satu struktur tidak menjalankan fungsinya, maka fungsi yang dijalankan struktur lain akan terganggu dan akibatnya sistem sosial mengalami instabilitas. Pendekatan fungsional-struktural¬ sulit dilepaskan dari tulisan Talcott Parsons lewat publikasi tulisannya Structure of Social Action (1937) dan The Social System (1951). Bagi Parsons, setiap sistem sosial membutuhkan terpenuhinya empat prinsip agar bisa berjalan stabil yaitu fungsi-fungsi eksternal seperti adaptasi dan pencapaian tujuan serta fungsi-fungsi internal seperti integrasi dan pemeliharaan pola
Asumsi-asumsi utama yang mendasari pendekatan fungsional-struktural adalah:
Ø  Stabilitas, di mana kriteria penilaian utama bagi aneka pola sosial adalah kontribusi pola-pola tersebut terhadap terpeliharanya (stabilitas) masyarakat;
Ø  Harmoni, dalam mana layaknya bagian-bagian tubuh suatu organ tubuh, bagian-bagian masyarakat dipandang saling bekerja sama secara harmonis demi kebaikan seluruh masyarakat;
Ø  Evolusi, dalam mana perubahan yang terjadi dalam masyarakat selalu bersifat evolutif, bukan revolutif.
2.    Pendekatan konflik
Pendekatan ini menganalisis sistem sosial secara makro. Berbeda dengan pendekatan fungsional-struktural yang menekankan pada solidaritas dan stabilitas, pendekatan konflik menekankan pada ketimpangan dan perubahan sosial. Selain itu, menurut pendekatan ini, kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat terlibat dalam pertarungan terus-menerus (endless conflict) demi memperebutkan sumber daya yang langka.
Pendekatan konflik dapat ditelusuri pada tulisan-tulisan determinisme ekonomi Karl Marx di abad ke-19 yang mengetengahkan konflik antara kelas ekonomi proletar versus borjuis dalam masyarakat industri. Namun, dalam periode selanjutnya, determinisme ekonomi Marx sulit untuk terus dipertahankan sebagai satu-satunya sumber konflik sosial. Satu hal yang masih diterima oleh pendekatan konflik Marx adalah, hubungan-hubungan di dalam masyarakat penuh dengan ketegangan sebagai respon atas ketimpangan sosial. Ketimpangan ini memicu munculnya konflik. Konflik diselesaikan melalui konsensus yang menghadirkan norma-norma, nilai-nilai, serta lembaga-lembaga baru dan dengan demikian konflik ini melahirkan perubahan sosial. Konsensus pasca konflik ini disumsikan bersifat sementara karena masih menyisakan sumber konflik dan ketimpangan lalu menyebabkan konflik baru. Demikian siklus pemikiran konflik yang berlangsung secara dialektis: tesis-antitesis-sintesis-tesis. Selain Marx, pendekatan konflik juga diperkaya oleh pemikiran Max Weber, Georg Simmel, C. Wright Mills, Lewis Coser, Randall Collins, Ralf Dahrendorf ataupun Eric Olin Wright. Mereka adalah pemikir-pemikir konflik pasca Marx yang melihat bahwa konflik tidak hanya muncul akibat masalah ekonomi melainkan pula konflik antarkelompok yang disebabkan perbedaan agama, perbedaan ras, perbedaan etnis, konsumen versus produsen, gagasan, pemerintah pusat versus pemerintah lokal, penduduk lokal versus pendatang, ataupun penduduk kota versus penduduk desa.
Secara umum, pendekatan konflik memiliki tiga asumsi utama dalam memandang sistem sosial, yang terdiri atas:
Ø  Kompetisi. Kompetisi memperebutkan sumberdaya langka (uang, waktu luang, kekuasaan, pengaruh) merupakan jantung dari semua hubungan sosial. Kompetisi adalah ciri utama dari hubungan sosial, bukan konsensus.
Ø  Ketimpangan Struktural. Ketimpangan kekuasaan dan pendapatan (reward) adalah inheren (melekat) di dalam setiap struktur sosial. Individu atau kelompok yang memperoleh posisi diuntungkan karena mendominasi sumberdaya langka selalu cenderung mempertahankannya, sementara pihak selain mereka berupaya merebutnya.
Ø  Perubahan Sosial. Perubahan sosial muncul sebagai konsekuensi logis dari konflik antara kepentingan-kepentingan yang bersaing dalam mana hal ini berbeda dengan pendekatan struktural-fungsional yang memandang proses adaptasi-lah yang mengakibatkan perubahan sosial.

3.    Pendekatan interaksi-simbolik
Jika pendekatan fungsional-struktural dan konflik cenderung fokus pada level makro-sosial, maka pendekatan interaksi-simbolik cenderung fokus pada level mikro-sosial. Pendekatan bercorak mikro-sosial lebih tertarik mengamati hubungan sosial lewat interaksi sosial antar manusia dalam situasi tertentu. Situasi-situasi tertentu mendorong pada perilaku sosial yang spesifik.
Pendekatan interaksi-simbolik didefinisikan sebagai kerangka teori yang menganggap masyarakat tidak lain merupakan produk interaksi antar individu dalam kegiatan sosial sehari-hari. Menurut interaksi-simbolik yang disebut sebagai masyarakat tidak lain adalah totalitas interaksi antarindividu dan antarkelompok yang berlangsung di dalamnya. Pandangan ini juga menganggap masyarakat tidak lebih sekadar realitas yang dikonstruksi oleh aneka individu dan kelompok saat mereka berinteraksi satu sama lain. Interaksi menciptakan realitas dan realitas tersebutlah yang mempengaruhi bagaimana individu-individu memandang orang lain. Melalui cara pandang ini munculah konsep identitas. Pendapat-pendapat Max Weber adalah akar dari pendekatan interaksi-simbolik. Weber pernah berujar bahwa gagasan-lah yang sesungguhnya membentuk suatu masyarakat dan gagasan pula yang mengubah masyarakat. Gagasan lahir melalui interaksi antarindividu.
Asumsi-asumsi utama yang menjadi pijakan pendekatan interaksi-simbolis adalah:
Ø  Pentingnya makna, dalam mana perilaku, gerak-gerik atau kata-kata bisa memiliki makna yang beragam. Makna akan suatu hal bagi partisipannya (penggunanya) harus dipahami jika seseorang hendak memahami perilaku manusia, dan metodenya dikenal dengan nama verstehen;
Ø  Makna muncul dari hubungan, dalam mana disaat terjadi perubahan hubungan, maka makna-makna pun turut berubah;
Ø  Setiap orang selalu menegosiasikan makna, di mana setiap orang selalu bersikap kritis atas pemaknaan orang lain atas tindakannya.
C.   PLURALISME SOSIAL BUDAYA SEBAGAI REALITAS OBJEK MASYARAKAT INDONESIA
Pluralisme menurut bahasa adalah teori yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak substansi. Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak etnik, budaya, tradisi, suku maupun agama. Hal tersebut memberikan bukti bahwa Indonesia adalah negara yang pluralistik.
Tipologi pluralisme di Indonesia adalah bentuknya modifikasi. Beberapa mengambil sebagian aliran global teologi dan sebagian mengambil dari Transendent Unity of Religions. Dan kedua aliran tersebut bertujuan sama, yaitu; keberadaan agama-agama sama derajatnya. Tetapi aliran yang diminati oleh kaum pluralis Indonesia adalah aliran transendent unity of religions. Sebab wacana agama Indonesia banyak dilatar belakangi oleh konflik sosial dari pada konflik teologi.
1.    Pluralisme Basis Relativisme
Pluralis-relativisme adalah gagasan yang menekankan, bahwa perbedaan dan kemajemukan adalah prinsip yang tertinggi. Pemahaman pluralisme mengharuskan manusia menghormati semua bentuk keanekaragaman dan perbedaan, dengan menerima hal tersebut adalah bentuk dari menerima realitas yang sebenarnya.
Pluralisme yang ada di Indonesia memiliki beberapa tipe, pada satu sisi mengandung nilai-nilai toleransi, pada sisi yang lain mengandung nilai relativisme, bahkan sampai pada tingkat nihilisme. Doktrin relativisme beramula dari Protagoras sorang sofis yang berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things). Doktrin relativisme hanya mengandalkan akal manusia maknanya agama hanyalah tradisi. Agama tidak layak dijadikan patokan/standarisasi nilai-nilai kebenaran yang absolute. Kaum relativis berkeyakinan yang absolute hanya Tuhan, jadi kebenaran agama hasil tafsiran manusia adalah relative dan tidak absolut.
2.    Pluralisme Berbasis Nihilisme
Tipe pluralisme basis nihilisme adalah bahwa jika semua agama adalah sama benar maka logika terbaliknya adalah tidak ada kebenaran dalam semua agama. tipe ini menyatakan bahwa, kebenaran sejatinya tidak ada, Karena kebenaran sama benarnya atau bisa jadi semua kebenaran adalah sama salahnya, itu berarti kebenaran itu tidak ada. Seorang pluralis sejati memaknai pluralisme dengan kesamaan dan kesetaraan dalam segala hal, termasuk beragama. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Kaum pluralis juga beranggapan bahwa umat beragama jika tidak mengaplikasikan pluralisme dalam keagamaanya berarti toleran atau intoleran terhadap pemeluk agama yang lain.
3.    Pluralisme Basis Theosofis
Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya, pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.
4.    Pluralisme bukan toleransi
Dalam konsep Islam mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, tetapi tidak sampai pada tingkat pembenaran terhadap teologinya. Islam tetap mengakui kesalahan teologi agama yang lain bahkan sampai tingkat mengoreksi, tetapi Islam juga tidak memaksakan mereka untuk untuk masuk Islam. Islam juga membiarkan agama selain Islam untuk melaksanakan ritual agamanya, selama tidak mengganggu agama Islam. Ini berarti Islam tidak mentolerir persamaan agama (lakum dinukum wa liyadin).
D.   MANFAAT DAN KERUGIAN PLURALISME
1.    Manfaat pluralisme
Manfaat dari pluralisme adalah mengajak warga negara agar dapat membangkitkan sifat pengharagaan antara satu ras dengan ras lainnya, antara etnik atau suku yang satu, dengan suku lainnya, antara pengikut agama yang satu dengan agama lainnya, antara golongan yang satu dengan lainnya. Selain itu, setiap warga, etnik, dan ras dan penganut agama tertentu, dapat mengembangkan kultur, nilai-nilai ajarannya, serta tradisinya. Tak seorang pun yang dapat menghalangi upaya pengembangan ini. Mereka dilindungi oleh undang-undang, yang berdasarkan kesepakatan dan persetujuan warga secara keseluruhan.. Dengan demikian, setiap warga dapat berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa merasa tertekan, dikontrol, serta diawasi oleh warga lain yang berbeda kultur. Setiap warga memiliki hak untuk hidup dan maju, bahkan mengembalikan tradisi dan kultur lama yang menjadi ajaran atau anutan pada warga itu. Institusi dan pranata sosial dan kulural dapat berdiri sebanyak-banyaknya, tanpa ada halangan dan tantangan. Hubungan dengan kultur yang sama dapat dibangun seoptimal dan sedekat mungkin, tanpa ada batas-batas hierarkikal dan birokrasi, hingga batas Negara sekalipun.
Orang Kristen, umpamanya, dapat saja menjalin hubungan dengan umat Kristiani di belahan Eropa, di AS, dan Australia. Umat Hindu dapat saja saling tolong menolong dalam hal kehidupan dengan India. Pengikut Buddha dan Kong Hu Chu pun, dapat sangat akrab dengan bangsa Asia Timur seperti Cina, Jepang, Korea, Taiwan, dan Indo Cina. Umat Islam dapat menikmati hubungan mesra dan silatur rahim dengan bangsa Arab, Berber, Afrika, Asia Tengah, Persia, dan Anak Benua India. Setiap penganut agama ini dapat saja membangun tempat ibadah di manapun saja mereka punya tanah hak milik. Bahkan menyewa juga seharusnya pun bisa! Mereka dapat melakukan upacara keagaman secara terbuka dan masif.
2.    Kerugian pluralisme
a.    pluralisme lahir dari gagasan sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan.  
b.    Pluralisme mengganggap hakekat semua agama sama.
c.    Pluralisme pada faktanya telah dijadikan sebagai alat untuk menghalangi ter-wujudnya pelaksanaan syariat Islam secara total dalam sebuah negara.
E.   PRINSIB TOLERANSI INDIVIDU DAN KELOMPOK MASYARAKAT PLURAL
Toleransi merupakan salah satu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil. Kadang-kadangtoleransi timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana disebabkan karena adanya watak orang perorangan atau kelompok kelompok manusia, untuk sedapat mungkin menghindarkan.
Di era reformasi ini, kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsaIndonesia. Hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau kemajemukan,khususnya bidang agama. Ada dua model toleransi, yaitu :
1)    toleransi pasif, yakni sikap menerima perbedaansebagai sesuatu yang bersifat faktual.
2)    toleransi aktif, melibatkan diri dengan yang lain ditengah perbedaan dan keragaman. Toleransi aktif merupakan ajaran semua agama. Hakikat toleransi adalahhidup berdampingan secara damai dan saling menghargai di antara keragaman.Di Indonesia, praktik toleransi mengalami pasang surut. Pasang surut ini dipicu oleh pemahaman distingtif yang bertumpu padarelasi “mereka” dan “kita”. Tak pelak, dalam berbagai kontemporer, sering dikemukakan bahwa,radikalisme, ekstremisme, dan fundamentalisme merupakan baju kekerasan yang ditimbulkan oleh pola pemahaman yang eksklusif dan antidialog atas teks-teks keagamaan. Seluruh agama harus bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian. Hal ini tidak akan tercapai hanya denganmengandalkan teologi eksklusif yang hanya berhenti pada klaim kebenaran, tetapi membutuhkan teologi pluralisme yang berorientasi pada pembebasan. Toleransi yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah:sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling menerima ditengah keragaman budaya, suku,agama dan kebebasan berekspresi. Dengan adanya sikap toleransi, warga suatu komunitas dapat hidup berdampingan secara damai, rukun, dan bekerja sama dalam mengatasi berbagai permasalahan yangterjadi di lingkungannya.




DAFTAR PUSTAKA

            Nasikun.2007.Sistem Sosial Indonesia.Jakarta.RajaGrafindo
http//setabassiol.blogspot.com//2011/12/pendekatan-sistem-sosial.html, (25 april 2012, 09:45)
http//:gedeyenuyani.blogspot.com.2012/02/cirri-ciri-budaya-indonesia-2.html, (25 april 2012, 10.01)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar