pada kesempatan kemarin aQ udah share tentang materi-materi pokok dari PSB, sekarang kita bakalan bahas mengenai pluralisme di Indonesia yang terkait dengan PSB.
selamat menyimak guys,,,, moga bermanfaat
selamat menyimak guys,,,, moga bermanfaat
A. KARAKTER
SISTEM SOSIAL BUDAYA
Karakter sistem
sosial budaya bangsa kita meliputi.
1.
Rakyat Indonesia yang pluralistik merupakan
kenyataan, yang harus dilihat sebagai aset nasional, bukan resiko atau beban.
Rakyat adalah potensi nasional harus diberdayakan, ditingkatkan potensi
dan produktivitas fisikal, mental dan kulturalnya.
2.
Tanah air Indonesia sebagai aset nasional
yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote,
merupakan tempat bersemayamnya semangat kebhinekaan. Adalah kewajiban politik
dan intelektual kita untuk mentransformasikan “kebhinekaan” menjadi
“ketunggalikaan” dalam identitas dan kesadaran nasional.
3.
Diperlukan penumbuhan pola pikir yang
dilandasi oleh prinsip mutualisme, kerjasama sinergis saling menghargai dan
memiliki (shared interest) dan menghindarkan pola pikir persaingan tidak sehat
yang menumbuhkan eksklusivisme, namun sebaliknya, perlu secara bersama-sama
berlomba meningkatkan daya saing dalam tujuan peningkatan kualitas
sosial-kultural sebagai bangsa.
4.
Membangun kebudayaan nasional Indonesia harus
mengarah kepada suatu strategi kebudayaan untuk dapat menjawab
pertanyaan, “Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita?” yang tentu jawabannya
adalah “menjadi bangsa yang tangguh dan entrepreneurial, menjadi bangsa
Indonesia dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsafah dasar Pancasila,
bersemangat bebas-aktif mampu menjadi tuan di negeri sendiri, dan mampu
berperanan penting dalam percaturan global dan dalam kesetaraan juga mampu
menjaga perdamaian dunia”.
B. METODE
PENDEKATAN SISTEM SOSIAL BUDAYA
Terdapat tiga metode
pendekatan sistem sosial budaya, yaitu.
1.
Pendekatan fungsional-struktural
Pendekatan ini menganalisis sistem
sosial secara makro. Kalangan penganut paradigma ini kerap juga disebut
fungsionalis. Pendekatan ini memandang masyarakat adalah sebuah sistem yang
teratur dan bersifat stabil. Pendekatan ini juga memandang masyarakat sebagai
sistem kompleks yang bagian-bagian di dalamnya bekerja secara bersama guna
menghasilkan solidaritas dan stabilitas. Sistem yang stabil ini dicirikan
konsensus masyarakat di mana mayoritas anggota (para individu) memiliki
perangkat nilai, kepercayaan, dan perilaku yang digunakan secara bersama.
Pendekatan ini juga memandang masyarakat terdiri atas bagian-bagian (struktur)
yang menjalankan fungsi yang saling berhubungan satu sama lain. Hubungan padu
dan harmonis antar struktur dan fungsi tersebut menyumbang pada stabilitas
masyarakat. Dalam upaya mencapai stabilitas, masyarakat – menurut para
fungsionalis – mengembangkan struktur-struktur sosial (atau lembaga). Struktur
sosial adalah pola perilaku sosial yang relatif stabil. Struktur sosial
dibutuhkan agar masyarakat tetap ada yang diantaranya direpresentasikan lembaga
keluarga, pendidikan, agama, pemerintah ataupun lembaga-lembaga ekonomi (pasar,
peternakan, perkebunan, misalnya). Jika satu struktur tidak menjalankan
fungsinya, maka fungsi yang dijalankan struktur lain akan terganggu dan
akibatnya sistem sosial mengalami instabilitas. Pendekatan
fungsional-struktural¬ sulit dilepaskan dari tulisan Talcott Parsons lewat publikasi
tulisannya Structure of Social Action (1937) dan The Social System (1951). Bagi
Parsons, setiap sistem sosial membutuhkan terpenuhinya empat prinsip agar bisa
berjalan stabil yaitu fungsi-fungsi eksternal seperti adaptasi dan pencapaian
tujuan serta fungsi-fungsi internal seperti integrasi dan pemeliharaan pola
Asumsi-asumsi
utama yang mendasari pendekatan fungsional-struktural adalah:
Ø
Stabilitas,
di mana kriteria penilaian utama bagi aneka pola sosial adalah kontribusi
pola-pola tersebut terhadap terpeliharanya (stabilitas) masyarakat;
Ø
Harmoni,
dalam mana layaknya bagian-bagian tubuh suatu organ tubuh, bagian-bagian
masyarakat dipandang saling bekerja sama secara harmonis demi kebaikan seluruh
masyarakat;
Ø
Evolusi,
dalam mana perubahan yang terjadi dalam masyarakat selalu bersifat evolutif,
bukan revolutif.
2.
Pendekatan konflik
Pendekatan ini menganalisis sistem
sosial secara makro. Berbeda dengan pendekatan fungsional-struktural yang
menekankan pada solidaritas dan stabilitas, pendekatan konflik menekankan pada
ketimpangan dan perubahan sosial. Selain itu, menurut pendekatan ini,
kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat terlibat dalam pertarungan
terus-menerus (endless conflict) demi memperebutkan sumber daya yang langka.
Pendekatan konflik dapat ditelusuri
pada tulisan-tulisan determinisme ekonomi Karl Marx di abad ke-19 yang
mengetengahkan konflik antara kelas ekonomi proletar versus borjuis dalam
masyarakat industri. Namun, dalam periode selanjutnya, determinisme ekonomi
Marx sulit untuk terus dipertahankan sebagai satu-satunya sumber konflik
sosial. Satu hal yang masih diterima oleh pendekatan konflik Marx adalah,
hubungan-hubungan di dalam masyarakat penuh dengan ketegangan sebagai respon
atas ketimpangan sosial. Ketimpangan ini memicu munculnya konflik. Konflik
diselesaikan melalui konsensus yang menghadirkan norma-norma, nilai-nilai,
serta lembaga-lembaga baru dan dengan demikian konflik ini melahirkan perubahan
sosial. Konsensus pasca konflik ini disumsikan bersifat sementara karena masih
menyisakan sumber konflik dan ketimpangan lalu menyebabkan konflik baru.
Demikian siklus pemikiran konflik yang berlangsung secara dialektis:
tesis-antitesis-sintesis-tesis. Selain Marx, pendekatan konflik juga diperkaya
oleh pemikiran Max Weber, Georg Simmel, C. Wright Mills, Lewis Coser, Randall
Collins, Ralf Dahrendorf ataupun Eric Olin Wright. Mereka adalah
pemikir-pemikir konflik pasca Marx yang melihat bahwa konflik tidak hanya
muncul akibat masalah ekonomi melainkan pula konflik antarkelompok yang disebabkan
perbedaan agama, perbedaan ras, perbedaan etnis, konsumen versus produsen,
gagasan, pemerintah pusat versus pemerintah lokal, penduduk lokal versus
pendatang, ataupun penduduk kota versus penduduk desa.
Secara umum,
pendekatan konflik memiliki tiga asumsi utama dalam memandang sistem sosial,
yang terdiri atas:
Ø
Kompetisi. Kompetisi memperebutkan
sumberdaya langka (uang, waktu luang, kekuasaan, pengaruh) merupakan jantung
dari semua hubungan sosial. Kompetisi adalah ciri utama dari hubungan sosial,
bukan konsensus.
Ø
Ketimpangan Struktural. Ketimpangan
kekuasaan dan pendapatan (reward) adalah inheren (melekat) di dalam setiap
struktur sosial. Individu atau kelompok yang memperoleh posisi diuntungkan
karena mendominasi sumberdaya langka selalu cenderung mempertahankannya,
sementara pihak selain mereka berupaya merebutnya.
Ø
Perubahan Sosial. Perubahan sosial
muncul sebagai konsekuensi logis dari konflik antara kepentingan-kepentingan
yang bersaing dalam mana hal ini berbeda dengan pendekatan
struktural-fungsional yang memandang proses adaptasi-lah yang mengakibatkan perubahan
sosial.
3.
Pendekatan interaksi-simbolik
Jika pendekatan
fungsional-struktural dan konflik cenderung fokus pada level makro-sosial, maka
pendekatan interaksi-simbolik cenderung fokus pada level mikro-sosial.
Pendekatan bercorak mikro-sosial lebih tertarik mengamati hubungan sosial lewat
interaksi sosial antar manusia dalam situasi tertentu. Situasi-situasi tertentu
mendorong pada perilaku sosial yang spesifik.
Pendekatan interaksi-simbolik
didefinisikan sebagai kerangka teori yang menganggap masyarakat tidak lain
merupakan produk interaksi antar individu dalam kegiatan sosial sehari-hari.
Menurut interaksi-simbolik yang disebut sebagai masyarakat tidak lain adalah
totalitas interaksi antarindividu dan antarkelompok yang berlangsung di
dalamnya. Pandangan ini juga menganggap masyarakat tidak lebih sekadar realitas
yang dikonstruksi oleh aneka individu dan kelompok saat mereka berinteraksi
satu sama lain. Interaksi menciptakan realitas dan realitas tersebutlah yang
mempengaruhi bagaimana individu-individu memandang orang lain. Melalui cara
pandang ini munculah konsep identitas. Pendapat-pendapat Max Weber adalah akar
dari pendekatan interaksi-simbolik. Weber pernah berujar bahwa gagasan-lah yang
sesungguhnya membentuk suatu masyarakat dan gagasan pula yang mengubah
masyarakat. Gagasan lahir melalui interaksi antarindividu.
Asumsi-asumsi
utama yang menjadi pijakan pendekatan interaksi-simbolis adalah:
Ø
Pentingnya
makna, dalam mana perilaku, gerak-gerik atau kata-kata bisa memiliki makna yang
beragam. Makna akan suatu hal bagi partisipannya (penggunanya) harus dipahami
jika seseorang hendak memahami perilaku manusia, dan metodenya dikenal dengan
nama verstehen;
Ø
Makna
muncul dari hubungan, dalam mana disaat terjadi perubahan hubungan, maka
makna-makna pun turut berubah;
Ø
Setiap
orang selalu menegosiasikan makna, di mana setiap orang selalu bersikap kritis
atas pemaknaan orang lain atas tindakannya.
C. PLURALISME
SOSIAL BUDAYA SEBAGAI REALITAS OBJEK MASYARAKAT INDONESIA
Pluralisme
menurut bahasa adalah teori yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak
substansi. Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak etnik,
budaya, tradisi, suku maupun agama. Hal tersebut memberikan bukti bahwa
Indonesia adalah negara yang pluralistik.
Tipologi
pluralisme di Indonesia adalah bentuknya modifikasi. Beberapa mengambil
sebagian aliran global teologi dan sebagian mengambil dari Transendent Unity of
Religions. Dan kedua aliran tersebut bertujuan sama, yaitu;
keberadaan agama-agama sama derajatnya. Tetapi
aliran yang diminati oleh kaum pluralis Indonesia adalah aliran transendent
unity of religions. Sebab wacana agama Indonesia banyak dilatar belakangi
oleh konflik sosial dari pada konflik teologi.
1.
Pluralisme Basis Relativisme
Pluralis-relativisme adalah gagasan
yang menekankan, bahwa perbedaan dan kemajemukan adalah prinsip yang tertinggi.
Pemahaman pluralisme mengharuskan manusia menghormati semua bentuk
keanekaragaman dan perbedaan, dengan menerima hal tersebut adalah bentuk dari
menerima realitas yang sebenarnya.
Pluralisme yang ada di Indonesia memiliki beberapa tipe, pada satu sisi
mengandung nilai-nilai toleransi, pada sisi yang lain mengandung nilai
relativisme, bahkan sampai pada tingkat nihilisme. Doktrin relativisme beramula dari
Protagoras sorang sofis yang berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala
sesuatu (man is the measure of all things). Doktrin relativisme hanya
mengandalkan akal manusia maknanya agama hanyalah tradisi. Agama tidak layak
dijadikan patokan/standarisasi nilai-nilai kebenaran yang absolute. Kaum
relativis berkeyakinan yang absolute hanya Tuhan, jadi kebenaran agama hasil
tafsiran manusia adalah relative dan tidak absolut.
2.
Pluralisme Berbasis Nihilisme
Tipe pluralisme basis nihilisme adalah bahwa jika
semua agama adalah sama benar maka logika terbaliknya adalah tidak ada
kebenaran dalam semua agama. tipe ini menyatakan bahwa, kebenaran sejatinya
tidak ada, Karena kebenaran sama benarnya atau bisa jadi semua kebenaran adalah
sama salahnya, itu berarti kebenaran itu tidak ada. Seorang pluralis sejati
memaknai pluralisme dengan kesamaan dan kesetaraan dalam segala hal, termasuk
beragama. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan
pemeluknya. Kaum pluralis juga beranggapan bahwa umat beragama jika tidak
mengaplikasikan pluralisme dalam keagamaanya berarti toleran atau intoleran
terhadap pemeluk agama yang lain.
3.
Pluralisme Basis Theosofis
Pluralisme
pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman.
Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi
kekuatan untuk membangun harmoni. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi
sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya,
pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.
4.
Pluralisme bukan toleransi
Dalam konsep Islam mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, tetapi
tidak sampai pada tingkat pembenaran terhadap teologinya. Islam tetap mengakui
kesalahan teologi agama yang lain bahkan sampai tingkat mengoreksi, tetapi
Islam juga tidak memaksakan mereka untuk untuk masuk Islam. Islam juga
membiarkan agama selain Islam untuk melaksanakan ritual agamanya, selama tidak
mengganggu agama Islam. Ini
berarti Islam tidak mentolerir persamaan agama (lakum dinukum wa liyadin).
D. MANFAAT
DAN KERUGIAN PLURALISME
1.
Manfaat pluralisme
Manfaat
dari pluralisme adalah mengajak warga negara agar dapat membangkitkan sifat
pengharagaan antara satu ras dengan ras lainnya, antara etnik atau suku yang
satu, dengan suku lainnya, antara pengikut agama yang satu dengan agama
lainnya, antara golongan yang satu dengan lainnya. Selain itu, setiap warga,
etnik, dan ras dan penganut agama tertentu, dapat mengembangkan kultur,
nilai-nilai ajarannya, serta tradisinya. Tak seorang pun yang dapat menghalangi
upaya pengembangan ini. Mereka dilindungi oleh undang-undang, yang berdasarkan
kesepakatan dan persetujuan warga secara keseluruhan.. Dengan demikian, setiap
warga dapat berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa merasa tertekan, dikontrol,
serta diawasi oleh warga lain yang berbeda kultur. Setiap warga memiliki hak
untuk hidup dan maju, bahkan mengembalikan tradisi dan kultur lama yang menjadi
ajaran atau anutan pada warga itu. Institusi dan pranata sosial dan kulural
dapat berdiri sebanyak-banyaknya, tanpa ada halangan dan tantangan. Hubungan dengan
kultur yang sama dapat dibangun seoptimal dan sedekat mungkin, tanpa ada
batas-batas hierarkikal dan birokrasi, hingga batas Negara sekalipun.
Orang
Kristen, umpamanya, dapat saja menjalin hubungan dengan umat Kristiani di
belahan Eropa, di AS, dan Australia. Umat Hindu dapat saja saling tolong
menolong dalam hal kehidupan dengan India. Pengikut Buddha dan Kong Hu Chu pun,
dapat sangat akrab dengan bangsa Asia Timur seperti Cina, Jepang, Korea,
Taiwan, dan Indo Cina. Umat Islam dapat menikmati hubungan mesra dan silatur
rahim dengan bangsa Arab, Berber, Afrika, Asia Tengah, Persia, dan Anak Benua
India. Setiap penganut agama ini dapat saja membangun tempat ibadah di manapun
saja mereka punya tanah hak milik. Bahkan menyewa juga seharusnya pun bisa! Mereka
dapat melakukan upacara keagaman secara terbuka dan masif.
2.
Kerugian pluralisme
a.
pluralisme lahir dari gagasan sekulerisme yang
memisahkan agama dari kehidupan.
b.
Pluralisme
mengganggap hakekat semua agama sama.
c.
Pluralisme
pada faktanya telah dijadikan sebagai alat untuk menghalangi ter-wujudnya
pelaksanaan syariat Islam secara total dalam sebuah negara.
E. PRINSIB
TOLERANSI INDIVIDU DAN KELOMPOK MASYARAKAT PLURAL
Toleransi merupakan salah satu
bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil. Kadang-kadangtoleransi timbul
secara tidak sadar dan tanpa
direncanakan, hal mana disebabkan karena adanya watak orang perorangan atau kelompok kelompok manusia, untuk
sedapat mungkin menghindarkan.
Di era reformasi ini,
kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsaIndonesia. Hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah
yang sumbernya berbau kemajemukan,khususnya
bidang agama. Ada dua model toleransi, yaitu
:
1)
toleransi pasif, yakni sikap menerima perbedaansebagai
sesuatu yang bersifat faktual.
2)
toleransi aktif, melibatkan diri dengan yang lain ditengah perbedaan dan keragaman. Toleransi aktif merupakan ajaran
semua agama. Hakikat toleransi adalahhidup berdampingan secara damai dan saling menghargai di antara keragaman.Di
Indonesia, praktik toleransi mengalami pasang
surut. Pasang surut ini dipicu oleh pemahaman distingtif yang
bertumpu padarelasi “mereka” dan “kita”. Tak pelak, dalam berbagai
kontemporer, sering dikemukakan bahwa,radikalisme, ekstremisme, dan
fundamentalisme merupakan baju kekerasan yang ditimbulkan oleh
pola pemahaman yang eksklusif dan antidialog atas teks-teks keagamaan.
Seluruh agama harus bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian. Hal
ini tidak akan tercapai hanya denganmengandalkan teologi eksklusif
yang hanya berhenti pada klaim kebenaran, tetapi membutuhkan
teologi pluralisme yang berorientasi pada pembebasan. Toleransi
yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah:sikap saling menghormati,
saling menghargai, dan saling menerima ditengah keragaman budaya, suku,agama dan kebebasan berekspresi. Dengan adanya sikap
toleransi, warga suatu komunitas dapat hidup berdampingan secara damai, rukun, dan bekerja sama
dalam mengatasi berbagai permasalahan yangterjadi di lingkungannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasikun.2007.Sistem
Sosial Indonesia.Jakarta.RajaGrafindo
http//setabassiol.blogspot.com//2011/12/pendekatan-sistem-sosial.html,
(25 april 2012, 09:45)
http//:gedeyenuyani.blogspot.com.2012/02/cirri-ciri-budaya-indonesia-2.html,
(25 april 2012, 10.01)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar